Oleh : Musthofa Al Muhdhor

Prolog.
Agama Islam menyerukan pemeluknya untuk senantiasa bertafakkur tentang segala ciptaan Allah SWT supaya dapat menghantarkan mereka kepada derajat keimanan yang kuat. Dalam hal berpikir, Islam juga memberikan kebebasan; alasannya ialah supaya seseorang dapat menemukan hingga membedakan mana yang benar dan mana yang salah, baik dan buruk, haq dan bathil, sehingga seseorang bisa menjalani kehidupan sesuai dengan fitrahnya yang sejati, serta sejalan dengan kodratnya sebagai ciptaan Allah.

Jenis pemikiran jelas beragam dan berbeda-beda. Ada yang disebut “pemikiran politik”, ada juga jenis “pemikiran sosial” dan juga ada yang dinamakan “pemikiran agama” (dalam konteksnya kali ini yaitu Islam). “Pemikiran agama” inilah yang akan menjadi objek utama ulasan yang bersama akan kita bahas apa-apa yang ada di dalamnya.

Sebagai mana yang dikatakan DR. Amjad Rhosid dalam mendefinisikan pemikiran Islami, : pemikiran Islami tidak lain ialah kumpulan hukum-hukum akidah/aqodiyah dan fiqh/fiqhiyyah yang telah ditetapkan teks-teks (An Nusush) syariat, maupun pengambilan hukum tersebut secara nash (teks) atau istinbath (penggalian hukum) yang melalui jalan para imam-imam mujtahid. Jelasnya dengan dhowabith (batasan-batasan) istidlal (pencarian dalil) dan istinbath (penggalian hukum) yang telah lumrah didalam bidang ilmu usuluddin dan usul fiqh. Maka pemikiran yang keluar dari standar dua bidang ilmu tadi, tidaklah bisa dikatakan dari pemikiran islam. Walau dengan segala upaya apapun seorang pemikir tersebut membungkus pemikirannya dengan baju dan bungkus syariat Islam. Itulah yang disebut akar kesesatan.

Dhowabit/batasan-batasan dalam pemikiran Islam atau lebih tepatnya pemikiran ijtihad di dalam Islam adalah sebuah pembahasan yang sangat esensial dan krusial untuk digali, terlebih disampaikan isinya untuk golongan pelajar ataupun awam sekalipun. Dari judul makalah ini yang telah kita baca, ada maksud dari kata “pemikiran” setelah diterjemahkan ke arti yang lebih khusus; yaitu “pendapat/ro’yun” yang digagas dalam ranah komando dan otoritas Islam.

Sudah jelas pemikiran yang tidak dibawah kendali atau kontrol Islam tidaklah mungkin mengadopsi batasan-batasan yang diatur dalam pemikiran Islam. Dan sebaliknya, apabila pemikiran tersebut dibawah kekuasaan/sultah islam, maka wajib kembali kepada dhowabith pemikiran yang ditentukan dan diridhoi Islam. Apalah arti menisbatkan suatu pemikiran kepada Islam bila pada kenyataannya pemikiran tersebut justru mendobrak dan membongkar prinsip-prinsip dasar Islam?

Seperti yang saya sebutkan tadi, sudah tidak asing lagi bagi seorang muslim bahwasannya Agama Islam, berkenaan dengan universalitas hukum-hukumnya, telah membuka pintu “berfikir” secara luas dan menyerukan - bahkan mewajibkan - kepada umatnya untuk mengetahui Sang Pencipta dan hakikat-hakikat Islam. Islam tidaklah mengekang akal-akal manusia untuk berfikir, namun, di samping itu semua Islam memberikan pagar-pagar di semua lini kehidupan secara umum dalam hal berfikir dan melangkah, yang tidak boleh sedikitpun dilewati. Itu semua karena satu hal yang memang tidak dapat dipungkiri; bahwa esensi manusia condong ingin memuaskan hawa nafsunya. Sehingga kecondongan tersebut dapat menjalar pada perbuatan zalim dan pelanggaran hak-hak yang bukan miliknya. Oleh karena adanya kecenderungan pada hal yang dapat memicu kerusakan, Islam memberi “pagar” yang dapat memberi tanda bagi manusia tentang batasan-batasan melangkah yang tidak boleh dilanggar.

Makalah ini akan membahas secara parsial mengenai beberapa poin masalah. Pertama mengenai dhowabit/batasan-batasan pemikiran umum (semua jenis pemikiran). Kedua mengenai pembahasan mujtahid dan dowabit ijtihad didalam islam.

Pembahasan.

A. Batasan utama untuk semua ilmu dan pemikiran.
Di zaman melenium ini, kian semarak seruan tentang “kebebasan berfikir” di semua bidang kehidupan. Terlebih di dalam pemikiran agama yang kian melenceng (menurut saya). Bisa jadi hal itu berasal dari faktor kacaunya keadaan umat saat ini, hingga menyebabkan pudarnya personalitas dan jati diri Islam di muka umum. Serta banyaknya fatwa-fatwa melenceng yang beterbangan di tengah masyarakat yang menjadikan wajah Islam kian tercoreng.

Oleh karena itu saya kira penting untuk mengawali pembahasan ini dengan tiga dhowabit/batasan-batasan esensial, yang pada ketiganya harus terikat semua jenis pemikiran, yaitu :

Pertama harus berkomitmen dan berpegang dengan kaidah-kaidah ilmu yang dibahas dan dipelajari dengan catatan yang ditentukan oleh para pakar di setiap bidang ilmu. Kemudian yang kedua harus berkomitmen sesuai adab ketika bersama lawan yang berbeda pendapat. Karena kebebasan dalam berpikir bukan berarti bebas untuk berbicara yang tidak layak. Terakhir yang ketiga adalah tidak melampaui yurisdiksi. Karena kebebasan dalam berpikir bukan berarti sama dengan keharusan terlaksananya pendapat pribadi, dan memaksa yang lain untuk mengikuti pendapatnya.

Tiga batasan diatas bukanlah khusus untuk jenis pemikiran Islam, akan tetapi untuk semua yang berpendapat dalam suatu masalah atau lainnya. Pembahasan tersebut akan lebih dalam dan bercabang apabila kita memasuki kategori “pemikiran ijtihad islami”.

B. Mujtahid dan dhowabit ijtihad

i. Latar Belakang

Ijtihad merupakan sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi hukum-hukum Islam (Fiqh). Tanpa peran ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini dan ajaran Islam tidak akan mampu menjawab tantangan zaman dengan berbagai problematikanya. Dengan demikian, ijtihad adalah sebuah keniscayaan dalam Islam.

Namun harus pula diakui bahwa ijtihad merupakan faktor utama pemicu perbedaan pendapat dan kontradiksi hukum antar ulama. Pertentangan yang selama ini berlangsung dikalangan fuqaha misalnya, adalah akibat perbedaan metodologi ijtihad yang mereka gunakan. Tapi justru dari situlah khazanah keilmuan Islam terlihat begitu kaya dan anggun di tengah polemik intelektual yang variatif dan semarak. Dan hal itu tidak perlu disesalkan, sebab perbedaan metodologi yang diakibatkan oleh perbedaan pendapat mendapat legitimasi syariat.

ii. Definisi
Para ulama usul fiqh mendefinisikan seorang mujtahid, diantaranya Syaikhul Islam Zakariya Al Anshary didalam kitabnya Lubbul Usul. ialah : seorang yang baligh, aqil, mempunyai kemampuan dalam menggali hukum, faqihunnafsi (sangat memahami maksud-maksud dari perkataan),yang mengetahui dalil-dalil aqli (akal), menguasai standard ilmu-ilmu alat seperti nahwu, shorof, maaniy, dan bayan, mengetahui ilmu Usul Fiqh dan apa-apa yang berhubungan dengan hukum-hukum dari Al Qur’an dan Assunnah walaupun ia tidak hafal secara keseluruhan.

Syaikhul Islam juga menambahkan kategori lainnya dalam seorang mujtahid : mengetahui ijma-ijma ulama terdahulu, mengetahui nasikh Mansukh, mengetahui sebab-sebab turun ayat, mengetahui khabar mutawatir dan aahad, mengetahui sahih sebuah hadis dan selainnya dari hasan dan dhaif,mengetahui derajat para perawi hadist .

Barangsiapa yang terkumpul di dalam dirinya kategori di atas ia bisa disebut seorang mujtahid yang mempunyai keahlian dalam menggali dan meneliti hukum-hukum syariat. Bahkan wajib baginya berijtihad dan haram baginya bertaqlid (mengikuti) mujtahid lainnya, walaupun di dalam masalah ini terdapat khilaf ulama. Karena kewajibannya di dalam syariat ialah menggunakan pemikirannya di dalam nushus (teks-teks) dan adillah (dalil-dalil) untuk menggali hukum syariat,oleh karena itu ia dilarang untuk mendudukan dirinya di jajaran awam.

Dan sebaliknya, barangsiiapa yang tidak memenuhi kategori mujtahid, haram baginya annadzar (meneliti) kepada dalil-dalil dalam segi istinbath (menggali hukum), karena apabila ia tetap menggalinya tanpa dibarengi kategori seorang mujtahid maka hasilnya fasid (rusak) dan tidak dianggap. Al Imam Syatibi mengatakan dalam kitabnya Al Muwafaqat yang membagi kategori ijtihad yang terjadi di dalam syariat7 : ijtihad yang terjadi di dalam syariat ada dua kategori, pertama : ijtihad yang diakui/mu’tabar secara syariat, ialah yang datang dan dibentuk dari ahlinya yang memenuhi syarat-syarat ijtihad. Yang kedua : ijitihad yang tidak diakui/mu’tabar,ialah yang datang dari bukan ahlinya dan tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad. Karena pada hakikatnya ia hanya sebuah pendapat/ro’yun yang dilapisi dengan hawa nafsu dan maksud tertentu serta membuta di dalam tujuan. Maka setiap pendapat yang berbentuk seperti ini tidaklah ragu lagi ketidak absahannya di dalam syariat,karena ia telah bertentangan dengan kebenaran/haq yang Allah firmankan didalam AlQur’an:

وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم

“dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Al-Maidah ; 49)

Kelompok kategori yang kedua yang disebutkan oleh Syatibiy di atas adalah kelompok yang menjeratkan diri mereka ke dalam kesesatan dalam mengemban syariat, karena kesembronoan mereka terhadap syariat muthoharo. Kelompok ini juga pernah disinggung oleh Imam Syafii didalam kitab Risalahnya : “orang yang memaksakan dirinya untuk mengatakan atas hal yang ia tidak ketahui dan ia mantapkan,tatkala pendapatnya itu cocok dengan kebenaran tanpa sepengetahuannya, itu semua masih tergolong tidak terpuji (mahmudah), terlebih dengan pendapatnya yang salah, itu sangatlah tidak bisa ditoleran lagi”

Selain syarat-syarat untuk seorang mujtahid dalam menggali hukum yang telah disebutkan di atas, disana ada beberapa batasan-batasan/dhowabit yang harus dipenuhi tatkala terjun kelautan nushus (teks-teks) yang mulia (baca: alqur’an dan hadis) dalam penggalian hukum. Walaupun, tidak semua dhowabit yang akan disebutkan ini menunjuk untuk seorang mujtahid,akan tetapi itu semua disyaratkan dan harus dipatuhi untuk semua kategori mujtahid, baik itu merupakan mujtahid mutlaq atau yang dibawahnya, bahkan untuk semua yang mendalami ilmu syariat (terlebih fiqh) harus berhenti dihadapan batasan-batasannya tatkala ingin menggali hukum “baru” atau pendapat yang kembali kedalam ranah Islam.

 iii. Batasan-batasan/dhowabit ijtihad
Banyak orang yang menyerukan ke kancah umum - terlebih pada golongan pelajar - dengan kata “kebebasan berfikir dalam ber-ijtihad” /huriyatul fikri Al ijtihadiy, dan dibarengi dengan kekosongan mereka dari yang dinamakannya dhowabit fikri (batasan-batasan pemikiran) di dalam Islam, sehingga berdampak menimbulkan guncangan yang cukup kuat di ranah Islam dan agama lainnya secara umum. Berikut ini adalah batasan-batasan yang tidak boleh dibobol oleh si-pemikir islam secara umum, terlebih untuk seorang mujtahid (dari berbagai kategorinya) untuk melalaikan batasan-batasan tersebut. Kita akan sebutkan garis-garis besarnya dari batasan-batasan itu, sehingga kedepannya harus ada elaborasi yang lebih luas lagi untuk pembahasan ini.

 Mungkin akan kita sebutkan sepuluh poin/batasan penting untuk pemikiran ijtihad di dalam islam :

1) Wajibnya mengutarakan dalil dari seseorang yang mencurahkan pendapatnya atau pemikirannya di bidang tertentu. Kalau tidak seperti itu, pendapat dan pemikirannya tidaklah bernilai sedikitpun secara ilmiah. Sebagaimana yang telah tertera didalam bidang ilmu diskusi/munadzarah :

 إن كنت ناقلا فالصحة, أو مدعيا فالدليل

 Kaidah tersebut sudah menjadi sesuatu yang aksioma. Dalil bukanlah hanya semata-mata hawa nafsu yang diikuti, akan tetapi apabila dikaitkan dengan pemikiran beragama, dialah dasar-dasar pemikiran dan keagamaan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam serta disepakati oleh akal yang sehat.

2) Mengetahui sebab-sebab ilmu. Yang dimaksudkan dengan ilmu disini,ialah ilmu yang pasti (qot’i) yang tidak mungkin berubah. Sebab-sebabnya ada tiga : akal, khabar shadiq,dan panca indra yang sehat (pendengaran, pengelihatan,penciuman,rasa,dan sentuhan). Yang dimaksudkan dari khabar shadiq,ialah khabar yang pasti benarnya,maupun itu khabar yang mutawair (khabar yang diriwayatkan oleh banyak orang) seperti Al-Qur’an dan hadis nabi yang sampai derajat mutawatir, atau juga khabar yang tersebar ditengah-tengah masyarakat sampai ke darajat mustahil mereka sepakat berbohong dalam menukil khabar tersebut. Adapun khabar aahad (yang diriwayatkan oleh satu orang) tidaklah termasuk dari sebab-sebab ilmu (walaupun nantinya wajib mengamalkan khabar tersebut dengan kriteria tertentu).

Inilah yang dikatakan didalam kitab “Aqoid AnNasafiyah” :

أسبابه ثلاثة: الحواس السليمة والخبر الصادق ونظر العقل

“dan sebab-sebabnya (ilmu) ada tiga : panca indra yang sehat, khabar shadiq, akal”

Imam Al Tiftizaniy juga menerangkan setalah paragraph diatas dalam syarahnya, bahwa ilmu yang di hasilkan dari “ilham” tidaklah bisa disebut dari faktor-faktor ilmu.

Batasan ini bisa diartikan, tidaklah diterima pemikiran atau pendapat yang bertentangan dengan ilmu yang diperoleh dengan salah satu sebab-sebab ilmu diatas, begitu juga tidak bisa diterima mentah-mentah dari seseorang yang mengutarakan pendapatnya atau pemikirannya yang ia dapat bukan dari salah satu faktor ilmu diatas.

3) Mengetahui referensi yang mu’tabarah (diakui) untuk menggali hukum syar’i. Serta mengetahui syarat-syarat dan batasan-batasan/dhawabit setiap dari referensinya.
Referensi yang disepakati didalam Islam,ialah : Al-Qur’an, Assunnah, Al Ijma’, dan Al Qiyas. Walaupun disana ada segelintir kelompok yang mengingkari qiyas, akan tetapi pendapat mereka tidaklah berpengaruh dalam kesepakatan para ulama. Dan untuk mengetahui batasan-batasan/dhowabit disetiap referensi di atas, bisa dikaji didalam bidang ilmu ushul fiqh.

Di sana juga ada beberapa dalil-dalil yang terdapat khilaf dikalangan ulama islam, dengan begitu siapa yang menganggapnya sebagai dalil,ia harus mengikuti disiplin dari setiap dalil-dalil tersebut.

Hal ini yang di dendangkan oleh Al Imam Al Izz Bin Abdussalam di dalam kitabnya “Qawaidlul Ahkam fiI Masolihul Anaam” :

لا حكم إلا له فأحكامه مستفادة من الكتاب والسنة والإجماع والأقيسة الصحيحة والاستدلالات الدعتبرة

Maksud dari batasan/dhawabit diatas adalah, barang siapa yang menginginkan berijtihad untuk menggali hukum syar’i sedangkan sandaran dari ijtihadnya itu tidak kembali ke dalil-dalil yang disepekati oleh mayoritas orang Islam ataupun ke dalil-dalil yang terdapat perbedaan pendapat didalamnya, maka pendapatnya itu tidak bisa diterima bahkan tidak ditoleh sedikitpun, karena ia mengambil jalan selain jalan yang diambil orang-orang mu’min. sebagaimana yang difirmankan Allah swt :

( ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الذدى ويتبع غير سبيل الدؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا )

“dan barang siapa yang menentang rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia kedalam Jahannam,dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (An Nisa ;115)

Ini juga menjelaskan kepada kita, bahwa ijtihad tidaklah bisa kecuali dari dalil-dalil yang diambil darinya hukum halal dan haram, dan juga seorang yang melakukan ijtihad/mujtahid diharuskan mengetahui dalil-dalil tersebut, tatkala ia tidak menemukan jawaban dari satu hukum yang akan dia tetapkan, maka baginya berhenti dan tidak memaksakan dengan mengatakan perkataan yang tidak ada sandarannya ataupun makna yang serupa dengan dalil tersebut, hal inilah yang disepakati para ulama terdahulu ataupun sekarang.

Tidak sampai di situ, bahkan siapa yang berijtihad dengan menggunakan dalil-dalil di atas akan tetapi tanpa membarenginya dengan aturan dari setiap dalil tersebut, maka tetaplah pendapatnya itu tidak bisa diterima terlebih diikuti. Dalam lubang inilah seorang alim banyak terpeleset tatkala menggali hukum. Dan yang lebih harus ditegaskan lagi adalah sangat dilarang untuk menciptakan referensi atau kaidah baru dalam menggali hukum,karena semua kaidah dan dhawabit yang tertera di thurats islami tidaklah dibentuk kecuali setelah penelitian yang sangat ekstra, dengan mempertimbangkan segala yang dibutuhkan untuk seorang yang ingin menggali hukum. sebab menciptakan metode baru dalam menggali hukum sangatlah susah dan hampir mustahil.

4) Mengambil ilmu dengan dalil-dalil di atas, ditangan para ulama yang mahir di dalam bidang ilmu agama, dalam segi mempraktekan kaidah-kaidahnya ataupun menjabarkan masalah-masalah rumitnya. Karena siapapun yang mempelajari ilmu agama tanpa arahan atau ajaran dari seseorang yang mahir didalam bidang ilmu tersebut, tidaklah bisa dipercaya pemahamannya itu, sebagaimana seseorang tidak percaya tatkala berobat kepada seseorang yang mempelajari buku-buku kedokteran sendiri dan tanpa arahan dari dokter yang mahir, maka terlebih tidaklah layak sesorang menerima suatu hukum agama yang akan menentukan perjalanannya di akhirat kelak, dari seseorang yang tidak jelas asal usul atau sanad belajarnya.

Walaupun di sana terjadi perbedaan pendapat, dalam kemungkinan mendapatkan ilmu tanpa seorang guru. Kita tidak mengingkari dalam segi kemungkinan, akan tetapi dalam segi kebiasaan di alam ini tidaklah didapatkan ilmu kecuali dengan guru, inilah yang disepakati secara global walaupun nantinya terjadi perbedaan pendapat. Dan mereka (para ulama) bersepakat bahwa seorang yang jahil (bodoh) sangatlah membutuhkan guru yang mengajarinya ilmu atau amal. Banyak ulama yang mengatakan : sesungguhnya ilmu di dalam diri para ulama, yang kemudian ilmu itu dipindahkan ke dalam kitab-kitab, dan tetaplah kunci-kunci ilmu tersebut diambil dari tangan-tangan ilmu.

5) Mengetahui tentang dalil-dalil dan usulnya pun tidak cukup didalam diri mujtahid tatkala ingin menggali hukum syar’i. disana ada yang diharuskan yang disebut dengan “faqihun nafsi” (sangat memahami maksud-maksud dari perkataan). Karena selainnya tidak mampu untuk menggali hukum yang dimaksudkan dari ijtihad.

 Al Imam Haramain berkata didalam kitabnya Al Burhan :

ثم يشترط وراء ذلك كله فقه النفس فهو رأس مال المجتهد ولا يتأتى كسبه فإن جبل على ذلك فهو الدراد وإلا فلا يتأتى تحصيله بحفظ الكتب

“dan dibalik itu semua disyaratkan juga “fiqhun nafsi” ialah modalnya seorang mujtahid,dan hal tersebut tidak bisa dicari, apabila ada sesorang yang diberikan tabiat fiqhun nafsi maka itulah yang diinginkan,apabila tidak demikian maka tidak dapat dihasilkan dari kitab-kitab”

6) Mampu membedakan hukum-hukum yang bisa di diijtihadkan dengan yang tidak bisa diperbuat kecuali tasliim (menerima) atas hukum Allah yang ditetapkan oleh salah satu dalil-dalil yang disepakati diatas. Karena hukum syariat ada yang menerima perbedaan pendapat didalamnya dan ada yang tidak bisa diubah. Maka medan ijtihad hanya di hukum-hukum yang menerima penta’wilan atau perbedaan pendapat, bukanlah medannya di hukum-hukum yang sudah pasti/tsawabit.

Dengan seperti itu, kita harus mengetahui apa barometer bahwa hukum tersebut menerima ta’wil dan tidaknya. Al Imam Ghozali mendefiniskan al mujtahid fiih (medan ijtihad) :

كل حكم شرعي ليس له دليل قطع

“setiap hukum syar’i yang tidak mempunyai dalil qhot’i (pasti)”

Yang dimaksudkan dari hukum syar’i di dalam definisi adalah; yang bukan hukum aqliyat (ilmu akidah) karena di dalam ilmu akidah tidak diperbolehkan adanya perbedaan pendapat,dan orang yang berijtihad didalam ilmu akidah apabila ijtihadnya salah ia berdosa.
Adapun dengan kata-kata “hukum yang tidak mempunyai dalil qhot’i” di dalam definisi di atas, guna untuk mengeluarkan hukum-hukum yang diambil dari dalil qhot’i, seperti sholat lima waktu,zakat,dan selainnya dari hukum-hukum yang diketahui oleh ummat islam dengan dharurah (tanpa harus susah payah dan diketahui dengan sendirinya),yang seperti itu bukanlah medan untuk berijtihad.

Syekh Yusuf Qhardhawi memperluas medan ijtihad di dalam definisinya : setiap mas’alah yang syar’i dan tidak ada dalilnya secara qhot’I di dalam segi tetapnya (tsubut) atau maknanya (dalalah). Maupun itu dari permasalahan tentang ilmu akidah atau far’iyah (sekunder) yang amaliyah.

Definisi yang dikatakan Syekh Yusuf Qhardhawi senada dengan apa yang diucapkan Syekh Ibn Taimiyah di dalam fatawi-nya (fatwa-fatwa), tatkala menjelaskan seorang mujtahid yang berijtihad di dalam satu masalah dan ijtihadnya salah,maka Allah akan mengampuninya, maupun itu di masalah akidah atau fiqhiyah


Dalam masalah ini D. Amjad Rhosyid membagi dua bagian dalam mensyarahkan dari referensi medan ijtihad :

pertama, ada masalah-masalah yang diketahui didalam agama Islam dengan dharurah (tanpa harus susah payah dan diketahui dengan sendirinya),setidaknya masalah itu tidak mungkin samar hukumnya sekalipun itu bagi orang awam terlebih ulama, seperti kewajiban solat lima waktu, puasa ramadhan, keharaman zina, khamer, menyakiti orang tua, semua masalah tersebut apabila ada yang mengingkari hukumnya, maka ia dihukumi kafir (keluar dari islam) walaupun dengan alasan ijtihad, karena ia mendustakan Allah dan RasulNya SAW.

Kedua, masalah-masalah yang didapat dari dalil-dalil yang disepakati ulama,akan tetapi tidak secara dharurah untuk mengetahuinya, perlu adanya penggalian hukum didalam masalah tersebut,seperti keharaman dalam hukum menikahi wanita yang sedang menjalani masa iddah orang lain, dan juga ada masalah ghaybiyat (metafisika) seperti masalah melihat Allah swt untuk orang-orang mukmin diakhirat kelak, adanya shirat (jembatan diatas api neraka), mizan (timbangan amal), azab kubur dan nikmatnya. Seorang yang mengingkari hukum-hukum tersebut setelah berijtihad dengan dalil-dalinya akan dihukumi mubtadi’ (bid’ah :membuat suatu yang baru didalam islam),akan tetapi tidak dihukumi kafir.

Walhasil bagi seorang yang ingin menggali hukum dari dalil-dalinya haruslah ekstra dalam melihat semua dalil yang tertuju ke masalah tertentu, tidak menta’wilkan dengan mengikuti hawa nafsunya, karena terkadang seorang mujtahid beranggapan bahwa dalil yang ia pegang harus dita’wilkan dan tidak dibawa kedzohirnya (kulit depannya), akan tetapi realitanya sangatlah berbeda dengan apa yang di sangkanya, sehingga menariknya kedalam bahaya dan bisa dikategorikan tindakan pidana atas teks/nash yang mulia.

7) Memahami hubungan antara akal dan wahyu (Al Qur’an dan Sunnah). Para ulama menjelaskan bahwa tidak ada hukum disyariat islam yang diambil dari dalil-dalilnya yang pasti dan kuat, bertentangan dengan hukum akal sehat yang bersifat pasti. Bahkan syariat islam keseluruhannya sependapat dan cocok dengan hukum akal.
Para ulama usul menjelaskan bahwa pertentangan dianatara dua hal yang qhoti’ itu mustahil, maupun dari segi kemungkinannya atau terjadinya. Sebagaimana yang dikatakan Syaikhul islam didalam kitabnya Ghayatul Wusul :

يمتنع تعادل قاطعين , أى تقابلهما بأن يدل كل منهما على منافى ما يدل عليه الآخر اذ لو جاز ذلك لثبت مدلولذما فيجتمع الدتنافيات
فلا وجود لقاطعين متنافيين عقليين أو نقليين أو عقلي ونقلى والكلام فى النقليين حيث لا نسخ

“tidak boleh adanya pertentangan diantara dua hal yang qhot’I,yang artinya,pertentangan diantara keduanya dengan mentiadakan dari dua hal tersebut apa yang dikatakan hal satunya, karena apabila itu mungkin maka akan tetap makna dari kedua hal tersebut,sehingga berkumpul lah kedua hal yang saling mentiadakan. Oleh karena itu tidaklah mungkin adanya kedua hal yang qhat’I dan bertentangan,keduanya itu maupun berupa secara hukum akal,atau akal dan nash, ataupun juga dua hal tersebut berupa nash selagi tidak ada nasekh (penghapusan hukum dengan hukum lainnya)”

 Oleh karena itu sangatlah penting untuk seseorang yang menggali hukum untuk mengkoloborasikan antara akal dan teks, apabila terdapat pertentangan diantaranya (dalam segi dzohirnya), maka ia diwajibkan untuk menelitinya lagi,karena pertentangan yang dilihatnya,karena sebab kurangnya teliti didalam menggali hukum hukum tersebut,atau juga yang bertentangan dengan akal tersebut hadis dhaif (lemah) atau maudhu’ (yang bukan perkataan nabi dan dinisbat kepadanya). Walaupun dikeadaan pertentangan akal dan hadis dhaif atau aahad,harus mengedepankan hukum akal yang qhat’i.

Inti dari masalah diatas, tidaklah dikedepankan hukum akal yang qhat’i atas nash kecuali tatkala bertentangan yang tidak bisa dihindari dan dengan hadits-hadits tertentu yang ada beberapa masalah didalam riwayatnya.

8) Memahami hubungan/alaqoh diantara Alqur’an dan hadis. Hal yang sudah lumrah sekali bahwasanya Al Qur’an tidak meninggalkan sedikitpun hukum untuk manusia didalam kehidupan mereka,kecuali telah dijelaskan didalamnya,alqur’an juga meletakan dasar-dasar hukum yang sangat luas dalam ilmu akidah ataupun fiqh,sehingga perlunya tafsiran atas dasar-dasar tadi untuk mengetahui maksud dari perkataan sang pencipta alam. Allah swt pun memberikan tugas penjelasan hukum apa yang belum dijelaskan alqur’an atau sudah dijelaskan akan tetapi tidak secara gamblang. Allah swt berfirman dalam hal ini :

وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون

“dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an,agar kamu menerangkan pada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (An Nahl ;44)
Tidak sampai disitu tugas hadits nabawi, akan tetapi ia juga berhak memberikan hukum baru kepada ummat manusia,dan hukum tersebut juga wajib dipatuhi seperti kewajiban mematuhi apa yang datang dari alqur’an, Allah juga menjadikan ta’at kepada nabi saw adalah bentuk ta’at kepadaNya. Sebagaimana juga sebaliknya, menentang untuk tidak mengikutinya adalah maksiat yang sangat besar.

Dari situ kita memahami kepentingan hadits nabawi untuk diketahui seorang mujtahid,tidak bisa ditoleran tatkala seorang yang ingin menggali hukum dan meninggalkan hadits dengan beranggapan bahwa alqur’an cukup untuk penggalian hukum.

9) Memahami hubungan/alaqah antara teks-teks syariat dan maslahat. Seorang yang meneliti makna-makna alqur’an dan hadits akan menemukan dasar yang luas, yang dibangun diatasnya hukum islam, yaitu menarik maslahat dan mencegah mafsadah.
Imam Izzuddin Ibn Abdusalam mengatakan intisari dari memahami alqur’an dan hadits : barang siapa yang memahami maksud-maksud dari alqur’an dan hadis akan mengetahui bahwasanya semua yang diperintahkan didalamnya hanya dengan maksud menarik maslahat dan mencegah mafsadah (keburukan).

Banyak sekali ayat-ayat alqur’an atau hadis yang menunjukaan bahwa syariat datang dengan membawa maslahat untuk manusia dan mencegah madlorot dari mereka. Seperti firman Allah swt :

إن هذا القرآن يهدي للتي هي أقوم ويبشر الدؤمنين الذين يعملون الصالحات أن لذم أجرا كبيرا

“ sesungguhnya Alqur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal sholeh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (Al-Isra ;9)
Di ayat lain Allah juga berfirman :

ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An-nahl:89)

Dari ayat-ayat diatas bisa disimpulkan bahwa syariat Islam mengandung apa-apa yang baik untuk ummat manusia, berisi maslahat bagi mereka di dunia maupun di akhirat, serta mencegah kerusakan dan keburukan dari mereka, baik untuk individu maupun secara umum dalam kehidupan mereka.

Dengan semua itu juga kita memahami bahwa yang menentukan maslahat bukanlah akal manusia semata, karena syariatlah yang lebih mengetahui maslahat bila dijajarkan oleh akal manusia. Allah swt berfirman :

والله يعلم المفسد من المصلح

“dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan” (Al-Baqarah ;220)

Maka tidak mungkin disana terdapat hukum yang bertentangan dengan maslahat manusia. Kaidah besar yang dikutip dari haditspun menguatkan permasalahan ini :

لاضرر ولا ضرار

“Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain”
Apabila disana terdapat hukum yang membawa bahaya untuk manuisa, maka tidak dianggap hukum itu dari syariat, karena syariat dibangun dengan keadilan dan rahmat allah terhadap hamba-hambanya.

Bisa dikatakan tatkala ada teks/nash yang bertentangan dengan maslahat yang mu’tabarah (dianggap), maka seorang yang mendapatkan hal tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan. Pertama,orang tersebut menerjang teks alqur’an atau hadits tanpa membawa metode yang sah,ia hanya menunggangi hawa nafsunya dalam berinteraksi dengan teks yang mulia. Dalam keadaan seperti ini jelas sekali,bahwa pengakuannya atas pertentangan teks dengan maslahat tidak bisa di terima/mardud.

Kedua,tidak mengetahui akan maslahat yang diakui dan diterima oleh syariat,bahkan samar untuknya jalan untuk mengetahui maslahat yang diakui syariat tersebut,terlebih dengan mentarjih (memenangkan) diantara dua maslahat dan dua mafsadah (kerusakan). Dalam hal seperti ini wajib baginya untuk mencari akan maslahat dihukum atau masalah tersebut,sudah pasti, dengan jalan yang diakui ulama dalam pengambilan maslahat. Maslahat yang diakui dengan syariat dan cara mendapatkan hal tersebutpun diambil dari dalil-dalil syar’I, ialah alqur’an hadits, ijma’ dan qiyas,serta pengambilan dalil yang benar metodenya. Hal inilah yang dikatakan oleh Imam Ibn Abdussalam didalam qhawaidnya.

Maka bisa disimpulkan siapa yang melegalkan suatu yang haram atau mengharamkan hal yang halal dengan pengakuan adanya maslahat yang dicomot dari akalnya, maka pendapat tersebut tidak bisa diterima; karena hanyalah syariat yang lebih tau dan lebih berhak untuk maslahat atau kemadharatan manusia.

10) Wajib mengetahui cara pentartiban dalil-dalil ketika melakukan operasi untuk menghasilkan hukum. Al Imam Ghazali di dalam kitabnya Al Mustashfa mengatakan bahwa seorang yang ingin menggali hukum hendaknya menertibkan dalil-dalil syar’i, maka pertama ia harus melihat di hukum-hukum ijma’ ulama. Apabila ia mendapatkannya, maka baginya untuk meninggalkan melihat ke nash-nash Alqur’an atau hadits,karena kedua itu bisa dinasikh (hapus). Lain halnya dengan ijma’, apabila mendapatkan teks yang bertentangan dengan ijma’, maka hal tersebut adalah dalil bahwa nash tersebut telah dinasikh, dengan alasan ummat tidak akan bersepakat atas kesalahan.

Kemudian melihat nash Alqur’an dan hadits yang mutawatir,dan mengedepankan kedua dalil tersebut atas dalil lainnya. Setelah itu beranjak ke hadits-hadits aahad sesuai derajatnya,dengan mengedepankan hadits shahih atas hadits hasan atau dhaif. Kemudian barulah ia beranjak kedalil qiyas.

Pentartiban diatas adalah pentartiban dalam segi derajat dalil-dalil tersebut. Maupun pentertibannya secara maknanya, ia harus mendahulukan nash (yang tidak ada kemungkinan makna selain lafadz tersebut) atas yang zhahir (yang memungkinkan bermakna selain makna lafadz tersebut), hendaknya ia juga melihat kepada nahs-nash yang umum,karena mengamalkan nash yang bersifat umum sebelum mendapatkan yang menkhusukannya diperbolehkan,setelah itu mencari dalil-dalil yang menkhusukan dalil umum tadi.

Walhasil wajib kepada sorang yang ingin menggali hukum mencari dalil yang paling tinggi derajatnya,dengan memperhatikan khilaf ulama usul terhadap dalil-dalil dari segi kuat dan lemahnya.

Al Imam Abu Bakar Al Baqilaani menjelaskan diantara kesalahan seorang yang menggali hukum syar’I diantaranya, tidak tepat dalam pentartiban dalil-dalil syar’I,dengan mengedepankan dalil yang harus di akhirkan, dan sebaliknya.