(Oleh : Ricky Faishal --Ricky Ibnsidiq-- Koordinator Dept. Pendidikan dan Dakwah PpiH)
Dahulu kala, ada seorang pemuda, pencinta, dan penyanyang. Tuhan anugerahkan padanya sosok wanita yang baik dan cantik. Ia selalu bermimpi dengan wanita itu akan menggapai semuanya berdua tanpa campurtangan keluarga besarnya.
Hari-harinya diisi dengan canda tawa, senyum si wanita dan perhatian yang mungkin tidak semua orang dapatkan. Rasa syukur terus mengalir, membahasi lidahnya dengan kalimat tahmid. Ia sadar bahwa Tuhan memberinya anugerah yang besar.
Suatu hari ia bertanya, "Sayang, sudikah kau menerima keadaanku?
Sayang dengarkan aku, Jika aku tak sudi aku tidak akan pernah melangkah sejauh ini."
Sayang dengarkan aku, Jika aku tak sudi aku tidak akan pernah melangkah sejauh ini."
Lelaki itu menjawab, "Jika benar kau sudi menerimaku, tolong jaga aku, sayangi aku, cintai aku, urusi aku, jangan kau lepas genggaman tanganku! Aku akan menggenggam tanganmu sekuat aku menyanyangimu," jawab si wanita.
***
Kawan, cinta tak pernah mengenal apa itu rupa. Ketika hati mulai memupuk gunung-gunung rasa, cinta akan menjadi bagian tertinggi gunung itu.
Pemuda itu sadar bahwa dirinya tak bisa berjanji banyak, ia hanya bisa membuktikannya, karena ia yakin janji bisa kita ingkari, tapi bukti tak dapat disangkal. Ia mencintainya dengan bukti, bukan dengan janji.
Sang wanita menangis melihat keluh, rintih sang pemuda memperjuangkannya. Cucuran air mata tak tertahan, hidung memerah seraya hatinya menggerutu, "Bodoh jika aku lepaskan ia, lebih bodoh lagi jika aku menyakitinya. Tuhan! jaga ia untukku."
Sembahan doa, rangkaian kata berserah padaNya selalu mengalir, harinya tak lepas dari syukur karena dihadiahkannya seorang pemuda baik. Pemuda itu tersenyum, menebar apa yang ia miliki dari kebahagiaan memeluknya, menggenggam tangannya tak terlepaskan.
Sadar, bahwa hati mereka terikat satu dengan lainnya, menyatu, melebur dalam rasa, bercampur bak pasir terhimpit bebatuan.
0 Komentar