Masjid Ba’alawi; Singgahan Favorit Para Wali
Oleh: Muhammad Rofiqul Firdausi al-Waadi al-Maduri, Mahasiswa tingkat dua Universitas Al-Ahgaff Syari’ah wal-Qanun, Tarim, Yaman*

Di balik hiruk-pikuk jantung kota Tarim, berjejer tempat-tempat ibadah umat Islam yang tak kalah melimpahnya dengan toko-toko dan kios-kos masyarakat yang mengais rezeki yang bertebaran di mana-mana. Umumnya masjid-masjid itu sudah dibangun sejak berabad-abad silam, dan masing-masing memiliki sejarah dan peran penting dalam membentuk karekter ikhlas dan para figur dai’ yang tersebar ke seantero dunia, termasuk diantaranya Indonesia.

            Ya, siapa yang tak mengenal kota Tarim. Kota di mana nenek moyang para Wali Songo berasal, kota yang punya ikon Ilmu amal dan akhlak, kota di mana bersemayam ribuan wali Allah yang tidak mengenal urusan dunia dan tak begitu peduli selain terhadap ibadah belajar dan dakwah.

Karena pada diri masyarakatnya sejak dulu sudah tertanam prinsip mulia tersebut, tak mengherankan jika masjid-masjid tak sanggup menampung mereka untuk shalat dan acara-acara belajar-mengajar, maka didirikanlah masjid-masjid yang menfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut. Termasuk kegiatan rutin maulid dan lainnya yang sudah menjadi tradisi masyarakat Tarim. Masjid-masjid itu tak lain dari sumbangsih para ulama dan dermawan dan yang berlomba-lomba menyumbangkan harta dan mewakafkan tanah mereka sebagai tabungan akherat. Mereka lebih mengutamakan keuntungan akherat daripada kesenangan dunia yang semu.

Masjid Ba’alawi
Tidak jauh dari pasar tradisioanal kota tarim, berdiri kokoh masjid yang disegani oleh seluruh penduduk lokal maupun non lokal; Masjid Ba’Alawi. Bukan karena kemegahannya tapi karena sejarah dan bekas tempat di mana para ulama’ dan wali-wali agung bersimpuh, menyentuhkan dahi meraka di tanah itu, mengadu dan bermesra-ria dengan sang pencipta. Bekas-bekas itu masih terasa sampai saat ini. Arsitektur bangunannya yang klasik dan sederhana seakan menambah kewibawaan masjid ini seperti kebanyakan masjid-masjid kota Tarim lainnya yang hanya berstruktur tanah liat dan air sebagaimana ciri khas kota tarim. Meski begitu masjid-masjid di kota ini tetap kokoh berabad-abad usianya.

Fisik masjid
Secara kasat mata tak ada yang istimewa dari masjid ini, dilihat dari arsitekturnya masjid yang berdiameter kurang lebih lima puluh meter persegi, dan ketinggian sekitar empat meter ini jauh lebih megah dan menarik daripada kebanyakan masjid di negara kita kita. Dari arah timur tampak menaranya yang mungil ala klasik dan tiga pintu. Satu pintu menuju ruang utama masjid, dua pintu menuju ruang istirahat, tiga pintu di utara dan barat (satu pintu menuju kamar mandi, dan dua pintu menuju ruang istirahat), dan dua pintu dari arah selatan yang keduanya menuju ruang istirahat.

Bagian dalam masjid
Di bagian dalamnya terdapat tiga ruangan, ruang kanan sisi utara sebelah barat terdapat kamar mandi untuk wudhu’ dan buang air kecil, (untuk toilet ada di sebelah utara masjid dibangun terpisah). Di sebelah timurnya terdapat emperan dalam, dan di sebelah kiri ruang tengah akan kita jumpai emperan luas tempat menginap para tamu Allah SWT untuk beristirahat.
Sedangkan ruang tengah terbagi dua, bagian dalam dan luar, Di bagian luar ruang tengah inilah biasanya shalat berjamaah dilaksanakan. Ruang inti bagian dalam hanya dipakai ketika acara-acara besar. Meski begitu tetap diperkenankan bagi siapa saja yang ingin beriktikaf dan membaca al-quran. Di bagian dalam ini ada tempat-tempat yang sering di duduki para pembesar habaib hingga bagian tersebut terkenal dengan nama para habaib yang biasa menempatinya, di antaranya:
  1. Bagian depan pojok kiri
Dikenal dengan tempat mustajabnya doa. Bagian tersebut dulunya adalah tempat shalat Sayyidina al-Faqihil Muqoddam. Bahkan sampai sekarang banyak orang yang antri bergantian untuk sholat ditempat tersebut karena ingin mengambil barokah
  1. Tiang Ma’surah (berbentuk spiral)
Yaitu tempat bersandarnya al-Faqihil Muqoddam. Bisa juga disebut tiang plintir karena seperti baju yang melintir karena di putar. Konon asal mula tiang tersebut dulu ketika Syekh Umar Muhdhor merobohkan Masjid Ba'alawi, beliau ingin membuat tiang yang di sandari Faqihil Muqoddam dengan corak yang berbeda, tapi beliau ragu sehingga di tunda pembuatannya. Esoknya ketika beliau ke masjid ternyata tiang bangunan tersebut sudah berbentuk melintir seperti spiral, konon karena pada malam harinya tiang tersebut dikelilingi oleh para malaikat sehingga melintir sampai sekarang.
  1. Pintu Khidir
Di dekat tiang ma'suroh ada pintu yang terkenal dengan pintu Nabi Khidir AS. karena seringnya orang sholeh melihat Nabi Khidir AS. lewat pintu di tersebut, terutama pada waktu Ashar hari Jum'at, hingga banyak yang mengatakan :
"Jika ingin bertemu Nabi Khidir tunggu di pintu tersebut, yang pertama kali keluar setelah Sholat Ashar di hari Jum'at itulah Nabi Khidir". Wallahu A'lam.
  1. Kayu di Shof belakang
Di shof paling belakang tepatnya di bagian tengah ada kayu yang tingginya kurang lebih 35 cm yang tak lain merupakan tempat duduknya al-Habib Abdullah al-Idrus ketika menjadi pemimpin para Habaib Ba'alawi (Naqib Sadah al-Ba'alawi).
  1. Batu di dinding dekat menara
Dulunya adalah tempat duduknya al-Habib Abdullah al-Haddad Shohiburrotib (penyusun Ratibul Haddad), beliau duduk di belakang karena beradab dengan orang-orang yang lebih tua yang berada di masjid tersebut.


Pembangunan
            Menurut sejarah masjid ini adalah masjid pertama yang dibangun oleh marga Sadah Ba ‘Alawi, salah satu marga  Ahli Bait. Didirikan oleh Imam Agung Sayyid ‘Ali bin ‘Alwi Khali’ Qasam, cicit al-Imam Al-Muhajir yang besambung kepada Sayyidina Husein bin ‘Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatihimah binti Rasulullah SAW. pada tahun529 H. Dengan bahan material yang berkualitas karena diambil dari sebuah desa tempat kakek al-Habib Ali Kholiq Qosam yaitu desa Bait Juber, tak lain karena tanah di desa Bait Juber berwarna merah, sangat kuat dan bagus sekali untuk bahan bangunan di banding tanah di daerah lain. Tanah dari desa Bait Juber ini di angkut dengan dokar (pada saat itu adalah alat paling canggih dan moderen untuk mengangkut barang) karena letaknya kira-kira 13 km dari kota Tarim.

Renovasi
Masjid ini mengalami dua kali renovasi. Pertama; di masa putra al-Habib Ali Kholi' Qosam yaitu al-Habib Muhammad Shohibul Mirbat, beliau semakin menyempurnakan bangunan dan merpercantik masjid yang dibangun oleh ayah beliau sebelum beliau berpindah ke daerah Dhofar (Oman).
Yang kedua: oleh al-Habib Umar Muhdhor yaitu bangunan yang ada sampai zaman sekarang ini. Al-Habib Umar Muhdhor membangun Masjid Ba'alawi di awal abad ke 9 Hijriyah setelah beliau menjadi Naqib Sadah al-Ba'alawi (ketua marga Ba 'Alawi) pada tahun 821H. Inisiatif dari Habib Umar Muhdhor ini disebabkan melihat keadaan masjid yang tidak layak lagi karena sudah tua termakan usia dan hampir roboh, dikarenakan telah berdiri sejak 300 tahun yang lalu (bila di hitung dari zaman Habib Umar Muhdhor), maka beliau mengumpulkan para pembesar habaib untuk bermusyawaroh tentang pembangunan masjid tersebut, namun mereka tidak menyetujui.
Meski demikian, dengan melihat kemaslahatan yang lebih besar Habib Umar Muhdhor akhirnya nekat dan memanggil tukang dari daerah Mahro (daerah dekat ibu kota Shan'a) yang terkenal dengan tukang-tukang handal untuk merobohkan Masjid Ba'alawi. Ketika hari Jum'at di saat para habaib berangkat Sholat Jum'at di Masjid Jami' Tarim (tidak semua masjid di tarim digunakan untuk shalat Jumat, dulu penduduk Tarem kalau Sholat Jum'at jam 8 pagi sudah ada di masjid Jami’ dan pulang kira-kira jam dua siang, karena setelah sholat mereka masih berdzikir, membaca al-Qur'an dan sholawat) dan ketika mereka pulang dari masjid mereka temukan masjid Ba'alawi telah roboh dan rata dengan tanah kecuali tembok bagian depan masjid dan mihrab pengimaman, pada akhirnya mereka pasrah dengan keputusan beliau.
Setelah menyelesaikan pembangunan al-Habib Umar Muhdhor bin Abdurrohman as-Seggaf naik ke loteng masjid dengan mengangkat kaki kanannya lalu meletakkannya, mengangkat kaki satunya dan meletakkannya kembali. Beliau melakukan ini beberapa kali. Menurut sebagian habaib hal tersebut adalah gerakan kaki yang dilestarikan hingga saat ini dan sudah menjadi tradisi masyarakat Tarim, yaitu " ar-Rozih " tarian kaki yang diiringi senanandung syair berisi pujian dan doa ). Dengan  rasa gembira yang di penuhi doa pada Allah SWT. al-Habib Umar Muhdhor berkata seraya  menghentakkan tongkatnya :
هذا بناي إلى يوم القيامة معاد با يتغير إن شاء الله
Insya Allah bagunanku ini tidak akan pernah berubah dan akan tetap kokoh sampai hari kiamat.

Perluasan masjid
Masjid Ba’alawi mengalami beberapa kali perluasan tanpa merubah substansi dasar bangunan yang telah direnovasai oleh Habib Umar Muhdhor. Diantaranya oleh al-Habib Alwi as-Tsamin bin Abu Bakar al-Khered pada bagian pintu masuknya. Beliau juga menambahkan sebuah menara yang tak begitu tinggi, hanya berukurang sekitar lima meter. Begitu juga al-Habib Ahmad Bajahdab. Beliau menambahkan sebuah tempat untuk belajar mengajar di samping kanan masjid.
Diantara kelebihan masjid Ba ‘Alawi
Hingga saat ini, khusunya pada hari Jumat sore waktu sholat Ashar banyak sekali yang hadir untuk sholat di masjid ini meskipun dalam keadaan sakit mereka tetap berusaha menyempatkan diri sholat Ashar berjamaah di Masjid Ba'alawi. Sampai disebutkan dulu orang-orang yang sakit biasanya mengendarai keladainya menuju Masjid Ba'alawi demi ikut shalat Ashar berjamaah di sana, hingga konon keledai yang ada di luar Masjid Ba'alawi mencapai 80 ekor, karena kehadiran Nabi Khidhir AS. di waktu itu.
Para pendahulu sampai sekarang sangat menjaga adab di Masjid Ba'alawi, bahkan mereka tidak berani memakai habwa (sejenis ikat pinggang yang biasanya dipakai sebagai penahan lutut saat duduk) dan juga menselonjorkan kaki. Masjid Ba'alawi juga sangat terjaga dari perkara khilafiyah (perselisihan ulama’), bahkan dari lintas madzhab sekalipun, mereka sangat menjaga dari melakukan suatu hal yang masih diperselisihkan kebolehannya, bahkan kesunahannya, seperti Shalat Sunnah qabliyah Maghrib, potret-memotret dan rekaman video. Oleh karenanya tak pernah kita jumpai gambar atau foto Masjid ini dari bagian dalam, karena para ulama masih berselisih tentang hukum kamera, hal ini tak lain demi menghomati dan menghargai para pengikut seluruh Madzhab diantara keempat Madzhab.
Ketika malam hari Masjid Ba'alawi sangat makmur, banyak orang datang untuk menghidupkan malam dengan tahajud dan membaca al-Quran. Al-Habib Alwi bin Syihab berkata:
" Lampu di Masjid Ba'alawi tidak di matikan ketika malam hari karena banyaknya orang yang ibadah ". Bahkan para imam-imam Masjid di kota Tarim berangkat ke Masjid Ba'alawi , dan ketika menjelang subuh mereka kembali ke masjid mereka masing-masing. Para jamaah duduk sampai waktu terbitnya matahari, ketika jama'ah sholat subuh pulang, di luar masjid sudah banyak yang antri untuk masuk masjid, begitu juga ketika waktu Dhuha tiba kira kira jam 8 sampai jam 10,  tempat wudu' masih penuh karena antri untuk melaksanakan Sholat Dhuha.
Tak sedikit yang mendapatkan Sirr (pangkat kewalian) orang Sholeh di masjid ini. Diantaranya Al-Habib Abdullah al-Haddad mendapat maqom al-Habib Abdullah al-Idrus di Masjid Ba'alawi. Bahkan ada seorang habaib mendapatkan "hal" (derajat) para wali di Masjid Ba'alawi lalu ia berkata : "Ya Allah ikutkan teman-temanku yang ada di masjid ini sehingga mereka keluar dari masjid semuanya menjadi wali."

Konklusi
Segala hal dan suasana yang ada di masjid ini betul-betul membawa kita seolah berada di masjid Nabawi pada masa Rasulullah SAW. Karena suasananya yang hening dan tenang, tak pernah terdengar sekalipun suara obrolan seputar dunia. Tak salah bila salah seorang Arifin mengapresiasi masjid ini: “Aku pernah bermukim di Makkah al-Mukarromah, dan aku menemkan kenyamanan dan ketentraman yang luar biasa serta suasana yang begitu menggugah jiwa. Ketika aku sampai di Tarim dan singgah di masjid Ba ‘alawi, aku dapati ketentraman dan kenyamanan yang seperti itu, begitupula aku mendapatinya di Masjid Syekh Umar Muhdhor, dan Masjid Muhammad Hasan Jamal al-Lail”.
‘Ala Kulli Hal, masih banyak keindahan dan keistimewaan yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang pernah mengunjunginya. Begitu sulit menguraikannya, apalagi hanya sebatas  ungkapan tulisan. Semua ini tak lepas dari karunia Allah yang dianugrahkan pada masjid ini, yang jarang kita dapati di masjid lain, dengan menjadikannya tempat faforit para Wali-Nya.
Cukuplah kiranya gambaran kecilnya dengan untaian Sya’ir Habib ‘abdullah bin Syihab Rahimahullah:
Mereka adalah para kaum yang dikala malam membentangkan tirainya
menyingkirkan selimut mereka
dan tidak tertipu dengan kenikmatan dan kemegahan tempat tidurnya

Tetapi rindu dengan kehangatan tiang-tiang masjid sebagi tempat untuk bersimpuh dengan bersujud pada Sang Pencipta
melantunkan al-Qur'an dengan penghayatan menjadi irama yang indah
ditengah keheningan malam yang gulita memenuhi seruan Sang Pencipta.
Di masjid Bani Zahro terdapat sirr yang begitu agung
karena telah di pijak oleh kaki Sayyidina Al-Faqihil Muqoddam
begitu kuberharap dikala bersujud di masjid itu
tubuhku menyentuh bagian yang telah mereka duduki
hingga aku mendapat keagungan berkat mereka
Betapa banyak kaki-kaki mulia telah memijakinya
Orang-orang mulia shaleh dan terkemuka
malam harinya bersimpuh berderaian air mata
di tempat sujudnya
betapa banyak hamba yang singgah
mereka adalah pewaris serta penerus Sang Nabi SAW.

Ahad 03/08/1438 H. | 30/04/2017 M.