Kota Tarim selain dikenal dengan kota wali, juga dikenal dengan kota ratusan masjid, bahkan hampir bisa dipastikan di setiap jarak lima puliuh meter akan kita jumpai masjid. Masjid-masjid ini umumnya sudah berusia berabad-abad. Diantara masjid tersebut adalah Masjid Wa’al. Sekilas saat mendengar namanya tidak bisa dipungkiri pasti terasa janggal di telinga, terlebih bagi yang mengerti bahasa arab. bagaimana tidak, kebanyakan masjid di dunia menggunakan nama-nama yang disandingkan dengan Nama Allah SAW., Asmaul Husna, nama Nabi ataupun nama pendirinya. Tidak demikian dengan masjid ini. Ya, masjid ini masyhur dengan nama masjid “Wa’al”, yang dalam bahasa arab berarti kambing hutan. Tentunya penamaan masjid ini tidak luput dari sejarah menarik di dalamnya.

Secara geografis masjid ini terletak tepat di tengah-tengah kota Tarim, di dusun Khulaif tepatnya di tepi jalan kecil yang menuju pasar tradisional dari arah pemakaman Furait. Arsitekturnya yang klasik seperti halnya masjid-masjid tua lainnya menjadi ciri khas yang msih trendy di kota ini.

kerangka masjid


Tidak ada yang istimewa masjid ini jika sekilas dilihat dari fisik dan gaya arsitekturnya, luasnya hanya berkisar 231 M persegi dengan 22 tiang kokoh yang berbalut kapur putih di bagian serambi luarnya, dan 115 M persegi di bagian dalamnya.Temboknya juga berwarna putih,bahkan ada sebagian yang sudah lusuh termakan usia.


Serambinya tidak beratap, hanya berpagar tembok yang tidak begitu tinggi yang berbordir celah-celah kecil di bagian atasnya. Di situ juga terdapat dua jendela kaca di bagian depan sebelah kanan. Masjid ini memiliki dua pintu utama dari kayu tebal berwarna coklat tua tanpa ukiran, mirip pintu-pintu masjid klasik lainnya yang ada di Hadhramaut. Tepatnya dari sebelah timur dan utara yang keduanya menuju serambi masjid. Ada juga pintu dari sebelah kiri yang tidak langsung menuju masjid, tapi harus  melewati toilet dan tempat wudhu’.

Dari serambi masjid akan kita dapati empat pintu yang menuju bagian dalam, tapi yang biasa digunakan hanya dua, di antara dua pintu itu ada mihrab kedua selain yang digunakan di bagian dalam, biasanya digunakan untuk shlata berjamaah oleh orang-orang yang tertinggal jamaah pertama. Bagian dalam masjid juga nampak sederhana, terdapat 12 tiang besar di sela-selanya sebagai pondasi masjid, dan tiga jendela di sebelah kanan sekedar untuk ventilasi udara dan sisnar mathari. Di bagian dalam ini hanya terdapat 3 shaf yang mampu menampung kurang lebih 40 jamaah. Dulunya bangunan asli masjid ini adalah serambi luar, sementara bagian dalam ini ditambahkakn pada saat renovasi masjid.

Dari sebelah kanan ada pintu yang mengarah ke kamar mandi, ada enam kamar mandi yang baknya berbentuk seperti kolam, untuk buang air kecil dan mandi saat musim panas, di sebelah timurnya enpat kran untuk berwudhu’. Sementara toilet untuk buang air besar dibangun terpisah di luar masjid sebelah selatan. 

Sejarah pembangunan

Menurut berbagai sumber, masjid ini dipercaya dibangun pada tahun 40 H. oleh seorang Tabi’in Ahmad bin ‘Abbad bin Bisy al-Anshori RA. Ayahnya Abbad bin Bisyr adalah salah seorang shahabat yang ikut berhijrah bersama Rasulullah SAW. ke Madinah. Beliau dikirim ke daerah Lisk (-+12 KM. dari Tarim) di Hadhramaut oleh Khalifah Abubakar as-Shiddiq RA. Untuk memungut zakat dan berdakwah, dan memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Di saat melakukan tugas mulianya tersebut  beliau akhirnya terbunuh. Setelah kematian ayahnya beliau berhijrah ke Tarim dan mendirikan masjid ini, namun kala itu masih belum memiliki nama. Koonon masjid ini adalah masjid yang pertama berdiri di bumi Tarim, meski juga ada yang membentah, namun berdasarkan sumber yang kuat masjid inilah yang pertama kali berdiri. Konon masjid ini telah mengalami tujuh kali renovasi, dan yang terakhir berlangsung satu abad yang lalu.

Semenjak Ahmad bin Abbad bin Bisyr pindah dan mendirikakan masjid di Tarim, masyarakat sekitar menjadikannya tokoh panutan dan menyerahkan segala urusan keagamaan kepada beliau, sebagaimana maklum masyarakat Tarim yang berhati lembut sangat menghormati para ulama, terlebih seorang Tabi’in putra seorang shahabat. Mereka juga patuh pada kebijakan khalifah apapun keputusan yang ditetapkan, sehingga memperoleh tiga doa istimewa dari sang khalfiah Abu Bakar ash-Siddiq RA.

Begitupun setelah beliau wafat estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh anak-cucu beliau.  Hal ini berlanjut hingga kedatangan Imam al-Muhajr ke bumi Hadhramaut. Semenjak para Sadah Ba’alawi berhijrah ke Tarim pada abad ke empat Hijriah keluarga ini menyerahkan segala urusan keagamaan kepada mereka karena sikap Ta’zhim dan cinta Ahlul Bait yang tertanam pada diri mereka. Mereka sangat menghormati dan menjaga adab kepada para sadah Alawiyyin. Meski begitu para Sadah tetap menyerahkan urusan minbar kepada keluarga ini, oleh karena itu keluarga ini dikenal dengan marga al-Khatib (Ahli Khutbah), karena semua urusan minbar di kebanyakan masjid di Tarim keluarga ini yang ditunjuk sebagai Khatib.

Penamaan masjid

Di awal pembangunan masjid ini belum memiliki nama, entah sebenarnya ada atau tidak sejarah tidak mencatat nama masjid ini selain dengan sebutan masjid Wa’al. Mungkin karena waktu pertama kali dibangun masjid ini dulu satu-satunya masjid yang ada di Tarim.

Nama Wa’al sendiri berawal dari kisah tokoh dari marga al-Khathib yang mengurus masjid ini menggantikan pendahulunya, yaitu Syaikh Ali bin Muhammad al-Khathib, yang dikenal dengan kealiman, kewalian dan karomahnya yang agung, beliau hidup pada masa al-Faqih al-Muqaddam (abad Keenam H). Dikisahkan pada saat hari raya ketika beliau hendak berangkat ke masjid sebagai khathib, istrinya mengomel kepada beliau:

“Bagaimana bisa kamu meninggalkan keluargamu kelaparan tidak memiliki sesuatu untuk dimakan, kami ingin makanan. Kami ingin turut merasakan hari raya”
“Kalau begitu biarkan pintu rumah terbuka, siapa tahu dzat yang maha dermawan sang maha pemberi akan memberi kita rejeki”. Jawab beliau singkat seraya meninggalkan istrinya. Istrinya hanya menuruti perintah sang wali.

Setelah selesai malaksanakan shalat Eid beliau mendapati di dalam rumahnya ada sudah ada sekor kambing hutan yang datang dari gunung dengan sukarela. Pada saat itu Tarim masih hutan, masih sedikit ditemukan perumahan. Dipotonglah kambing hutan tersebut dan disantap bersama keluarga kecilnya sebagai hidangan hari raya. Konon menurut cerita salah satu ulama salaf, al-Habib Ali bin Muhammad al-habsyi setelah selesai dikumpulkanlah sisa tulang-belulang dan kulitnya, lalu beliau berkata:

“Bangkitlah dengan idzin Allah, kami sudah selesai dengan hajat kami”, tiba-tiba bangkitlah tumpukan tulang-belulang tersebut menjadi seekor kambing hutan utuh lalu kembali ke gunung. Semenjak  saat itu masjid ini dikenal dengan sebutan “Masjid Wa’al” (Kambing Hutan).

Keistimewaan Masjid

Karena usianya yang begitu tua masjd ini tentunya sudah tidak terhitung berapa banyak para wali dan orang-orang shaleh yang sudah shalat di masjid ini, oleh karenanya tidaklah aneh jika masjid ini banyak memiliki Sirr dari mereka. Bahkan arwah-arwah mereka tidak berpisah dari masjid ini. Banyak cerita dari orang-orang shaleh kalau Nabi Khidhir tidak pernah absen sholat di masjid ini. Konon menurut Ahli Kasyaf (orang yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT. bisa melihat rahasia-rahasia) Nabi khidhir AS. setiap hari - terutama di waktu antara Zhuhur dan Ashar - melakukan shalat di dekat tiang sebelah utara serambi luar hingga saat ini tempat itu ditandai dengan sajadah.

Tidak sedikit pula dari mereka yang melihat Rasulullah SAW. di masjid ini dalam keadaan terjaga. Banyak dari mereka yang melihat beliau berada di mihrab luar. Diataranya lagi tidak ada yang berani bermalam sendirian di masjid ini karena dikenal dengan Sirrnya yang begitu kuat, konon bisa menyebabkan kegilaan bagi orang yang tidak mampu melihat Sirr tersebut. Karena pada malam hari Sirr-sirr tersebut akan lebih Nampak.

Seperti yang dialami sendiri oleh Syekh Muhammad bin Abdullah bin umar al-Khathib, imam sekaligus Takmir masjid saat ini yang meneruskun leluhurnya. Beliau sudah ratusan kali melihat hal-hal aneh di masjid ini dengan kasat mata, termasuk juga putra beliau di waktu belum baligh, ketika hendak melakukan shalat malam di masjid ini, beliau melihat sosok manusia yang begitu tinggi sampai melampau tiang masjid, sedang sholat di serambi masjid. Beliau lalu menyapanya, “Apakah anda manusia atau jin?”. Namun makhluk itu tidak bergeming sama sekali. Begitulah, banyak kejadian-kejadian aneh di masjid ini.

Dulu masjid ini menjadi tempat sholat favorit para sadah Alawiyyin. Para salaf juga memadati masjid ini saat bulan puasa untuk takjil karena kehalalan kurma yang dihasilkan dari tanah waqof masjid ini yang sama sekali tidak bercampur Syubhat.

Termasuk diantaranya Habib Alwi, Habib Muhammad dan Habib Abdullah bin Syihab yang ketiganya mendapat gelar Qalbu Tarim sering sholat di masjid ini.

Ala kulli Hal. Masjid ini banyak memiliki keistimewaan dan Sir yang begitu kuat karena jejak para ulama’, Auliya’ dan shalihin yang dulu bermunajat dan bersimpuh kepada sang Rabb mengangisi umat Muhammad SAW. di masjid ini, jejak itu bahkan masih terasa hingga saat ini, begitu juga kebanyakan masjid tua di kota Tarim.