Oleh : Abdul Rahman Malik (Alumni Fak. Syari’ah Univ. Al-ahgaff)
Cerahnya senin pagi mengawali hari aktivitas Irfan, ditemani goesan sepeda palang nyentrik berkekuatan sepeda balap, punggungnya menggendong tas berisi buku-buku kuliah. Jiwa semangat ia pancarkan dari raut muka cerianya, siap berpetualang dalam dunia ilmu di kampusnya. Jam tujuh pagi pas, Irfan meluncur dari sebuah pesantren di kawasan Kanggraksan, Kota Cirebon. Ia mulai menyusuri jalan raya, melewati gang terobosan, mengikuti belokan dan lampu merah. Begitulah rutinitasnya setiap hari guna meraih gelar S1 Ushuluddin di IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Dedikasi Irfan bukanlah rahasia umum lagi diantara penghuni kampus. Irfan dinobatkan sebagai mahasiswa teladan dua tahun berturut-turut. Di tahun terakhirnya kini, Irfan ditunjuk kembali memegang asisten dosen di kelas prodi tafsir. Selain itu pula, Irfan aktif di klub basket kampus. Baginya, basket merupakan sarana refreshing pelepas kepenatan yang digemarinya semenjak SMP. Tak khayal, Irfanpun dipasang dalam jajaran pemain inti The Five Brothers bersama kawan-kawannya di Meteor Basketball Club. Sementara job utamanya layer up dengan keahlian terobosan dan jump shoot, tak jarang kemenangan Meteor menjadi kebanggaan berkat tangan emasnya.
Pagi ini Irfan sudah menyiapkan untuk jadwal kegiatan full hari ini, dari mulai kuliah sampai siang, lalu istirahat sambil shalat dzuhur di masjid kampus, kemudian latihan basket bersama klub kesayangannya.
"Priiiiiittttt…priiiiiittt…!" Terdengar bunyi peluit dan suara lantang Pak Akyas, sudah siap menunggu the meteror players menengah ke lapangan guna warming up. Pelatih terbaik yang selama ini membina Irfan dan kawan-kawan hingga nama klub basket kampusnya sudah tidak asing lagi di kalangan pecinta basket se-Kota Cirebon. Sambil pemanasan, Pak Akyaspun mulai bicara, Ia memberikan sebuah pengumuman penting. Satu bulan mendatang akan diadakan kompetisi basket antar Universitas se-Kota Cirebon yang juaranya akan diikutsertakan mengikuti National Basketball Tournament of Universities. Terbelalak semua mata mendengarnya, namun Irfan tak terkusik sedikitpun tanda keceriaan dari raut mukanya. Entah kenapa, walaupun Irfan pemain handal, dia selalu bersikap biasa saja. Itulah karakter yang sederhana dari Irfan; Tak banyak bicara, namun cerdik beraksi.
Setelah tiga minggu latihan optimal, tersisa satu minggu menjelang hari yang ditunggu. Persiapan tim sudah lumayan matang. Latihan dibubarkan jam setengah lima sore. Sebelum pulang ke pesantrennya, Irfan biasa membersihkan badan dan shalat ashar dahulu di masjid kampus. Pribadi Irfan selalu tertata dalam kesehariannya, karenanya Irfan di pesantren juga termasuk santri yang taat pada peraturan. Bisa mengatur waktu kesibukan pesantren, kuliah, dan juga basketnya. Pak Kyaipun senang dengan kepintaran Irfan dalam ilmu agamanya, sampai Irfan sering ditunjuk mengisi pengajian ibu-ibu menggantikan Pak Kyai ketika berhalangan.
Sepeda palangnya sudah siap tuk ditunggangi, kaki kanannya memulai putaran goesan sepeda, tak lupa Irfan melafalkan basmalah demi keselamatan. Keramaian sore kota Cirebon sudah biasa Irfan temui; Kerumunan pejalan kaki, pengendara motor, bahkan mobil-mobil mewah ikut menyemarakkan suasana. Ketika tiba di tikungan, Irfan membelokan stir sepedanya ke arah kiri, tidak dikira mobil sedan silver melesat tepat di depan muka Irfan kencang, seketika Irfan mencoba menghindar, Namun, kecapatan mobil mewah itu sekilas menabrak Irfan. Irfan tidak bisa berbuat, suara benturan besi sepedanya membuming, Irfan sekejap tak sadarkan diri.
****
Gelap, sunyi. Tak ada yang Irfan rasa. Setelah semalaman pingsan, matanya mulai meraba-raba, lalu meratap. Terlintas tampak seorang perempuan berdiri di sampingnya, mundar-mandir seperti orang kepanikan, khawatir. Rambutnya lurus hitam terurai sepunggung. Tiba-tiba perempuan itu berbalik. Seketika langsung tertunduk memohon maaf; Kemarin sore dia ceroboh sampai menabrak Irfan, sementara Irfan pingsan, dia bawa ke RS. Gunung Ciremai. Dia dengan perasaan bersalahnya siap membayar semua biaya operasional sampai kesembuhan Irfan. Irfan masih diam. Dia masih merasakan kesakitan di sekujur tubuhnya tertebih kakinya, kakinya di-giv, ada keretakan di tulang betisnya, belum kuat Irfan bergerak. Lalu, Irfan merenung sejenak, berfikir. Ya Allah, ini semata-mata takdir-Mu, tak ada yang bisa hamba perbuat tuk melawan kuasa-Mu. Sedikit-demi Irfan mencoba berkata, "Tak usah terlalu menyalahkan diri, Mba. Mungkin ini bukan sepenuhnya kesalahan mba. Saya juga kurang hati-hati sebelum menikung. Namun, saya merasa, ini salah satu bukti bahwa Allah SWT masih sayang kepada saya, hingga Allah memberikan peringatan dan cobaan. Tak semua cobaan itu buruk, namun saya yakini bahwa Allah menciptakan di balik semua cobaan.”
Perempuan itupun sedikit meneteskan air mata, terenyuh hatinya akan kata-kata sang pemuda ini. Kemudian, dia memperkenalkan diri. Namanya Yohana Ziskiya, sering dipanggil Hana. Dia seorang mahasiswi Fakultas Kedokteran di Unswagati Cirebon tingkat terakhir, sama dengan Irfan. Namun, dalam perkenalannya, Hana sedikit malu terhadap Irfan. Hana merasa dirinya awam akan kata-kata Irfan. Irfan seolah pemuda taat beragama. Lisannya tak lepas dari dzikir dan dalil Qur’an yang ia lontarkan. Sementara Hana, walau dari kalangan keluarga baik-baik, namun jauh dari ajaran agama. Irfan yang berhati lapang tersenyum, kagum akan tanggung jawab dan kepedulian Hana.
*****
Keesokan harinya, Pak Kyai bersama Bu Nyai datang menjenguk. Kaget atas kejadian yang menimpa Irfan. Bu Nyai seketika menangis di dada Irfan. Beliau merasa Irfan yang yatim sudah menjadi anaknya semenjak sekolah Aliyah dititipkan ibunya yang kurang mampu. Pak Kyai menasihati untuk bersabar dan berdoa, semoga lekas sembuh. Tidak lama kemudian, Hana tiba dengan mobil silver mewahnya. Irfan memperkenalkan Hana kepada Pak Kyai dan Bu Nyai. Irfan menceritakan kronologi kejadian, Pak Kyaipun menyadari itu memang takdir, sebagai cobaan untuk Irfan. Setelah shalat Isya, Pak Kyai dan Bu Nyai masih di ruang perawatan Irfan, tiba-tiba Hana dengan nada datar meminta Bu Nyai agar sementara Irfan biarlah Hana yang menjaga, kasihan Bu Nyai dan Pak Kyai jika harus menjaga Irfan semalaman. Bu Nyai dengan berat hati menyetujui tawaran Hana.
Semalaman Hana menjaga Irfan, obrolanpun bergulir dari kedua mulut. Hana yang berwajah putih bermata agak sipit tak habis menanyakan tentang perkuliahan, lalu berlanjut tentang pemahaman ajaran Islam, sampai Hana paham dan kagum akan kepintaran dan pengetahuan Irfan yang luas dan dewasa. Hana dengan rambut terurainya terkadang dibuat tertawa oleh Irfan, wajahnya yang layaknya artis Korea juga membuat Irfan tersenyum sendiri.
Hari-hari berlalu, Hana selalu menyempatkan untuk menjenguk dan menjaga Irfan bergantian dengan Bu Nyai setiap dua hari sekali. Pada hari kelima Irfan di rumah sakit, kawan-kawan Irfan di Meteor datang menjenguk, dan mengabari Pertandingan antar universitas lusa akan dimulai, Irfan tidak bisa ikut. Hana yang ada disitu, merasa bersalah. Namun, Irfan memberikan kepercayaan pada Rendy, sang kapten. Pertandingan bisa menang tanpa Irfan asalkan kalian kompak.
Satu bulan berlalu, Irfan sudah pulih. Ia kembali kuliah seperti biasa. The Meteor berhasil menjadi juara. Kini Irfan tidak lagi bergabung dengan basketnya, ia mulai fokus untuk skripsinya. Impian di depan mata, Irfan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, S1-nya cukup cita-cita baginya dan ibunya. Akhirnya, tepat empat bulan Irfan mampu selesaikan skripsinya. Wisuda S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Syekh Nurjati digelar, rangkaian acara dimulai satu demi satu. Di akhir acara, ketika pengumuman nilai IPK tertinggi, Irfanuddin Sholih namanya terpanggil. Semarak hadirin menepukkan tangan untuknya, gerak tangis ibunya mencium pipinya. Pak Kyai dan Bu Nyai yang ikut hadir bangga dan bersyukur memiliki anak asuhan seperti Irfan.
Sorenya, Irfan membawa ibunya ke pesantren. Setelah bertahun-tahun tinggal di pesantren, kini di hari wisudanya, Irfan harus berpisah dengan Pak Kyai dan Bu Nyai. Pulang ke kampung kelahirannya di Tasik. Desir suara mobil sedan hitam tiba di halaman pesantren. Rupanya Hana dan keluarganya keluar tidak diduga. Pembicaraan hangat berlangsung di ruang tamu, besama Pak Yai, Bu Nyai dan Ibu Irfan. Pada satu titik, ayah Hana meminta berbicara sesuatu. Hana baru saja wisuda S1 Kedokteran di Unswagati. Ia ditunjuk untuk melanjutkan S2-nya di Universitas Melbourne, Australia. Namun Hana ragu, karena khawatir kehidupan dan pergaulan disana kalau sendirian. Nah, kedatangan Ayahnya beserta keluarga bermaksud meminta Irfan untuk menjadi pendamping hidup Hana, yang nanti bisa menjaga dan mengajari Hana. Hana sudah cerita semua tentang Irfan, seberapa dalam keilmuan dan kepintaran Irfan, terutama tentang agama. Hana merasa Irfanlah yang cocok untuk menjadi imam dalam hidupnya di Australi. Dan disana juga Irfan bisa memegang usaha restaurant milik ayahnya disana. Ibu Zenab juga bisa ikut disana. Pak Kyai dan Ibu Zenab tidak bisa memberi keputusan, semuanya menyerahkan kepada Irfan.
Sementara Irfan berfikir dalam, lalu berkata, ia sebenarnya siap menjadi suami Hana, namun, Irfan ingin maharnya tidak berupa materi. Irfan tidak punya apa-apa kecuali hafalan beberapa juz al Qur’an. Dan Irfan memohon jikalau boleh akad nikah cukup dilaksanakan di pesantren dihadiri Pak Kyai dan santri-santri, itu lebih barokah. Pak Kyai akhirnya menyimpulkan. Baiklah, lamaran ini langsung diterima, pernikahan juga langsung dilaksanakan malam ini, cukup yang jadi mahar bacaan tartil surat Ar Rahman dari Irfan didengarkan langsung oleh Hana dan para santri di Mesjid setelah shalat Isya. Hana tersenyum bahagia, cintanya kan mekar disirami alunan al Qur’an Irfan. Irfan merasakan bahagia tak tertuga, seakan mimpi setelah lulus wisuda dengan peredikat terbaik. Dia juga bisa menjadi suami Hana layaknnya si artis Korea. Visinya kini adalah menciptakan kehidupan rumah tangga islami, sakinah mawaddah wa rahmah di tanah Melbourne, Australi.
*****
0 Komentar