Oleh: Munandar Harits*
Ada sebuah catatan yang menarik bagi saya ketika membaca laporan pertanggungjawa ban
PPI Yaman masa bakti 2015-2016. Yaman, sebuah negara miskin, wilayah
konflik dan tidak stabil dengan sistem pemerintahan yang jauh dari kata
sempurna di penghujung selatan jazirah Arabia ternyata memiliki jumlah
pelajar Indonesia terbanyak di luar negeri setelah Mesir. Mengherankan
bukan? Mungkin, antara iya dan tidak.
Mengherankan, bisa jadi.
Melihat lamanya durasi serangan koalisi liga Arab atas para pemberontak
presiden Ali Abdullah Shaleh yang hampir mencapai usia anak belajar
menyebut nama mama, papa dan lala. Dan dengan segala kekurangannya
–kelangkaan BBM, air dan listrik ternyata tidak sedikit pelajar
Indonesia yang masih bertahan melanjutkan studi mereka di negara ini.
Tercatat, sampai saat ini jumlah pelajar Indonesia di Yaman mencapai lebih dari 1000 orang. Jumlah yang hampir keseluruhannya berdomisili di provinsi Hadramaut.
Tercatat, sampai saat ini jumlah pelajar Indonesia di Yaman mencapai lebih dari 1000 orang. Jumlah yang hampir keseluruhannya berdomisili di provinsi Hadramaut.
Memang, konflik yang tidak sampai merembet ke
provinsi ini (selain kota Aden) sepertinya mampu membuat jumlah sebesar
ini masih bertahan sampai sekarang. Pelajar Indonesia masih dengan
mudahnya dapat ditemui di lalu lintas jalan tanpa lampu merah, di
masjid-masjid kuno, hingga di rumah-rumah syekh dalam rangka kajian
studi Islam. Jumlah 1000 pelajar ini seharusnya bisa lebih banyak andai
hari itu tidak terjadi. Serangan membabi buta koalisi liga Arab memaksa
PPI Yaman yang pada awal mulanya melakukan fungsi koordinasi antara 6
dewan presidium PPI wilayah harus kehilangan hampir seluruh wilayahnya.
Ucapan terimakasih tetap diberikan kepada pemerintah Republik Indonesia
yang melakukan evakuasi secara terus menerus meskipun mengakibatkan
bubarnya PPI wilayah yang sudah tidak ditinggali pelajar Indonesia.
Sempat muncul sebuah pertanyaan dalam benak saya sendiri atas lebih
dari 1000 –bukan jumlah yang sedikit pelajar Indonesia melanjutkan studi
mereka di provinsi Hadramaut dengan ragam lembaga pendidikan. Padahal,
secara formal lembaga-lembaga
pendidikan modern baru muncul di sini pada abad keduapuluh. Jangan
bandingkan dengan kemegahan Al-Azhar Asy-syarif yang sudah menghasilkan
cendikiawan dan ilmuan muslim ternama semenjak dinasti Fatimiyah. Jangan
pula bandingkan dengan berbagai universitas-uni versitas tua dan ternama di Eropa, Amerika hingga seluruh dunia. Hadhramaut lain daripada itu.
Sebuah pertanyaan, pada akhirnya terjawab lewat hari-hari panjang saya
sambil menghitung tanggal. Madrasah dan sistem pendidikan Hadhramaut
ternyata bukan berasal dari bentuk lembaga formal dan modern. Tapi ia
tumbuh, ia berkembang lewat kultur yang tertanam erat di dalam
lingkungan sosialnya. Abdurramman bin Musa, salah seorang dosen saya
pernah mengatakan sebuah kalimat dalam bahasa Arab fushah, “al-insanu
ibnu biatih”. Bahwa sesungguhnya manusia merupakan produk dari
lingkungan yang telah membesarkannya,
kita tidak bisa ingkar apa lagi menuduh hipokrit perkataan tersebut.
Bahkan dalam sebuah fabel dongeng lama, seekor anak serigala merasa
merupakan bagian dari anak domba saat ia tumbuh bersama mereka.
Kultur dan lingkungan Hadhramautlah yang memberikan penawaran sebagai
nilai lebihnya. Masyarakat Hadharim –sebutan untuk mereka, sejak dahulu
telah melakukan totalitas dalam menjalankan aturan agama Islam hingga
pada akhirnya menjadi sebuah tradisi yang sukar sekali untuk dirubah.
Madzhab Syafii, madzhab fikih yang mayoritas diikuti oleh umat muslim
Indonesia, benar-benar tumbuh berkembang di dalam tubuh masyarakat.
Pendapat-pendap at yang
muktamad –yang dianggap paling kuat dalam madzhab Syafii digunakan
tanpa banyak perselisihan. Bahkan, di kota Tarim dikenal sebuah masjid
kuno bernama masjid Ba Alawi yang sama sekali tidak melakukan sesuatu
ibadah yang masih diperselisihkan di dalamnya.
Cadar, sebagaimana pendapat muktamad madzhab Syafii benar-benar menjadi
sebuah keharusan bagi wanita-wanita yang sudah dewasa. Peran dan
kedudukan wanita di dalam masyarakatpun, tidak menonjol agar tidak ada
kekhawatiran terjadi fitnah. Tidak ada ihtilath –campur baur lain jenis.
Sama sekali tidak ada seorang wanita muda berpergian tanpa saudaranya.
Bukan berarti masyarakat Hadhramaut tidak mengakui HAM atau menganggap
rendah wanita, sekali lagi bukan. Namun hal semacam ini sudah mengakar
kuat dari dalam tradisi mereka tanpa ada satupun yang mempermasalahka n.
Satu yang menarik dalam kultural ajaran agama Islam Hadhramaut adalah
suatu saat ketika saya berada di masjid, saya melihat sebuah pemandangan
yang membuat saya cukup lama tertegun. Jika pada umumnya kita melihat
anak-anak ramai dan berisik di tempat ibadah, apa yang saya lihat adalah
antitesisnya. Eh, bukan lagi antitesis, tapi hiperantitesis.
Saya melihat seorang ayah yang menyetorkan bacaan kitab sucinya pada
anaknya yang masih di bawah lima tahun. Suatu pemandangan yang tidak
lazim bagi saya.
Keistimewaan kultural lain yang menjadi tawaran
konseptual madrasah pemikiran Hadhramaut adalah homogennya pandangan
keagamaan tersebut sebagaimana yang telah sedikit kami bahas. Tidak
banyak perbedaan pendapat. Hampir seluruh penduduknya bermadzhab fikh
Syafii. Sebenarnya, tidak ada larangan untuk heterogen dalam madzhab
fikih. Tidak ada larangan bermadzhab fikih selain Syafii di Hadhramaut.
Hanya saja, jika hal tersebut tersebar luas, Hadhramaut sebagai
satu-satunya daerah yang secara totalitas mengajarkan, mempelajari dan
mengamalkan pandangan madzhab Syafii akan sama seperti wilayah lain yang
memiliki kebudayaan heterogen.
Bukankah menutup diri dari
pandangan lain dalam sebuah lingkungan homogen seperti di Hadhramaut
adalah sesuatu yang tidak baik? Tunggu dulu. Memang hal semacam itu ada
benarnya. Akan tetapi sangat perlu digarisbawahi bahwa dalam budaya
dialog dan terbuka dengan heterogen pandangan yang berbaur dalam satu
ruang lingkup, diperlukan sebuah dasar yang kuat agar kiranya tidak
menjadi individu yang plin-plan dan tidak memiliki pendirian.
Menjadi maklum bersama, bahwa Imam Muhammad bin Idris Asy-syafii,
sebelum memulai dialog dengan tokoh-tokoh madrasah hadits di Madinah dan
madrasah pemikiran di Kufah, beliau lebih dahulu memiliki dasar yang
kuat dimulai dari hafalan Al Quran, hingga mempelajari fasahah dan
balaghah bahasa Arab secara langsung ke suku badui Hudzail di pedalaman
jazirah Arab.
Seperti sangat menjanjikan, memang. Tapi apapun
itu, sebenarnya semua kembali pada setiap individui 1000 pelajar
Indonesia tadi. Apakah ia menyadari lingkungannya, lalu justru berhenti
di titik homogen, dimana mereka pada akhirnya menjadi manusia yang tidak
moderat. Atau justru sebaliknya, ia mentas. Ia menjadi manusia
seutuhnya.
Dan lazimnya, jumlah pelajar yang sedemikian besarnya
di Hadhramaut dan Yaman dalam beberapa kurun waktu terakhir ini
mendapatkan ekpektasi, harapan dan cita-cita untuk memberikan sumbangsih
kepada negara Indonesia dari sisi agama hingga politik. Dan pada
ahirnya semoga selalu hidup harapan dalam hati penulis supaya
terlahirnya bibit-bibit buya Hamka dari Yaman. Semoga saja!
*Penulis adalah Mahasiswa tingkat III di Universitas Al Ahgaff, Tarim,
Hadhramaut, Yaman dan Staff di Departemen Infokom PPI Hadhramaut periode
2016-2017
0 Komentar