Kemajuan
suatu peradaban sangat ditentukan oleh SDM yang memadai, terutama dalam hal
pemikiran, tanpa meniadakan aspek lain yang tak kalah penting. Dalam hal ini
masyarakat terkatagorikan dalam tiga kelompok. Namun dalam peranannya, pemuda
sebagai kelompok yang mewakili masyarakat kelas menengah secara umum memiliki
posisi yang sangat urgen dalam menjalankan hal itu. Tak terkecuali dalam
menjaga stabilitas Islam sebagai sebuah ajaran yang komplek dan komprehensif
dalam mencakup semua aspek kehidupan.
Namun seiring perkembangan zaman,
para pemuda dihadapkan pada persoalan-persoalan yang terus mengalami perubahan
sehingga menuntut adanya penyegaran-penyegaran dalam ajaran Islam itu sendiri. Disadari atau tidak, tantangan semacam ini
akan berimbas pada peta pemikiran yang juga harus berjalan seimbang dengan
perubahan zaman tersebut dalam upaya mengawal stabilitas Islam tanpa menganulir
nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ajaran Islam. Untuk menjawab tantangan
tersebut, Jumat 15 November
2013 PPI Hadramaut sukses mengadakan seminar dengan tema " Asy-Syabab
wa Tahaddiyatul Ashri wa Dauruhum fi Nushrotil Islam", yang menghadirkan
dua narasumber ; yaitu Dr. Muhammad bin Abdul Qadir al-Idrus (Dekan Fakultas
Syariah wal Qanun Universitas al-Ahgaff) dan Dr. Alawi bin Hamid bin Syihabud din
(Dosen Ilmu Hadis Universitas Hadhramaut).
Dimulai pukul 20.45 KSA, Imam Nawawi
yang didaulat sebagai moderator, membuka
acara dengan mengutip perkataan Syekh
Mushtafa al-Ghulayani yang tertuang dalam kitabnya Idhaatun Nasyiin, “Wahai
para pemuda, di tanganmulah nasib sebuah bangsa. Dan pada hentakan kakimulah,
kemajuan suatu bangsa bertumpu !
Diawali oleh Dr. Alawi sebagai
pembicara pertama, beliau mengatakan bahwa pemuda adalah merupakan salah satu
fase yang sangat penting dalam membangun karakter seseorang. Berawal dari fase
inilah fase berikutnya akan ditentukan ,sehingga mengoptimalkan potensi yang
ada dan tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan adalah hal mutlak yang harus
dipenuhi untuk membentuk pemuda-pemuda yang kompeten dalam menjaga nilai-nilai
keislaman yang semakin hari terus mengalami benturan-benturan permasalahan baru
yang cendrung bersifat kikinian. Selain itu, corak pemikiran para pemuda sudah
harus dapat menyesuaikan dengan tuntutan zaman sehingga dapat mengakomodir
permasalahan-permasalahan yang timbul, untuk
kemudian dapat mereka selesaikan dengan tetap berpegang pada nilai-nilai dasar
dalam Islam.
Lebih lanjut beliau menjelaskan
bahwa seorang pemuda selayaknya menjadi "Ibnuz Zaman" yaitu
anak ideologis zaman. Dalam artian, mereka harus mampu mengoptimalkan setiap
pemikiran yang telah ada dan mampu menyerap pemikiran-pemikiran lain selama
tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sehingga mereka telah mampu dan
siap untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan dan tantangan pada zaman modern ini.
Dalam menjawab tantangan demi
tantangan tersebut, seorang pemuda sudah harus memiliki kemampuan dalam
memahami Islam melalui kajian-kajian mendalam terhadap ajarannya. Karena hanya
modal itulah, ia akan mampu berdialog langsung dengan kejadian-kejadian yang
terjadi di era modern. Sudah seharusnya, menurut beliau, para pemuda saat ini
terampil dalam menggunakan alat-alat komunikasi sebagai sarana untuk sampai
para satu taraf dimana taraf tersebut tidak pernah bisa dicapai pada zaman
dahulu sebab keterbatasan-keterbatasan yang terjadi.
Ia lantas memaparkan kiprah sejumlah
pemuda yang berperan penting dalam kebangkitan sejarah Islam. Ali bin Abi
Tholib, Abdullah bin Abu Bakar ash-Shiddiq, ataupun 'Umair bin Abi Waqos, adalah
merupakan segelintir sahabat yang memulai perjuangannya dalam membela islam
sejak masih muda. Bahkan diriwayatkan bahwa suatu ketika 'Umair Bin Abi Waqos ingin
mendampingi Nabi maju kemedan perang namun Nabi Muhammad melarang beliau ikut
serta sebab umurnya yang masih kecil, hingga akhirnya 'Umair Bin Abi Waqas menangis
sebab tak diizinkan nabi untuk mengikuti perang. Namun pada akhirnya nabi
mengizinkan beliau ikut perang dan beliau masih berumur 16 tahun.
Sedangkan narasumber kedua, Dr. Muhammad Abdul Qadir
al-Idrus, memaparkan beberapa tantangan yang harus disikapi serius oleh pemuda
masa kini, khususnya para pelajar ilmu syariah. Diantaranya adalah ; pertama,
kemampuan mengaktualisasikan ilmu pengetahuan yang didapat ke dalam realitas kekinian.
Kedua, memanfaatkan peran media sebagai sarana untuk berdakwah.
Dalam hal ini, jebolan Universitas
Baghdad tersebut mewanti-wanti agar pemuda memiliki jati diri di tengah arus
media yang pesat. “Kalian harus mempengaruhi, bukan justru terseret arus,”
tegasnya. Ia sangat menyayangkan, karena media yang ada saat ini justru semakin
memecah belat umat Islam. Karenanya, menurut Dr. Muhammad, peran pelajar ke
depan adalah bagaimana bisa merintis jalan untuk mewujudkan persatuan dan
menebarkan nilai ukhuwah.
Acara seminar ilmiah dilanjutkan dengan dialog interaktif hingga pukul 23.00 KSA. Seminar ini juga sekaligus menutup serangkaian acara yang dihelat PPI Yaman cabang Hadhramaut dalam rangka memperingati Hari Pahlawan. Akhir seminar ditutup dengan penyerahan hadiah penghargaan kepada para juara dalam beberapa lomba yang dihelat beberapa hari sebelumnya. Antara lain ; kompetisi sepak bola Piala Pemuda, lomba baca puisi, dan cerita kepahlawanan. (Tim Reportase PPI Hadhramaut 2013).
0 Komentar