Dimulai dengan tragedi hitam "Bom Bali I dan II" beberapa tahun silam, lalu diikuti dengan rentetan peristiwa ledakan dan gerakan terorisme lainnya, Islam di Indonesia saat itu mulai tersudutkan dengan berbagai tuduhan tentang radikalisme, konservatisme dan fundamentalisme. Teriakan-teriakan kalimat takbir yang tergema dari getaran dada seorang pejuang agama atas nama jihad, serta seruan penuh bangga dari seorang teroris yang mengaku dirinya telah menebus segala dosa dengan pembunuhan massal yang diakibatkan dari tindakannya, kian mencekam keadaan bagi seluruh umat Muslim. Keyakinan bahwa kematian yang syahid hanya bisa dibeli dengan membunuh pelaku kekafiran, semakin menegaskan bahwa agama ini tak akan berhenti dari peperangan sebelum bumi ini seluruhnya Islam. Dan peperangan itulah yang agaknya dianggap oleh sebagian kalangan sebagai satu-satunya realisasi dari kata "jihad".
Kata "jihad" memang selalu dicirikan dengan sebuah peperangan. Ini tidak aneh mengingat awal adanya jihad adalah sebuah perang yang sering bergejolak di awal datangnya Islam. Jihad tak ubahnya diyakini sebagai perjuangan dalam rangka pembersihan bumi dari segala bentuk kekufuran untuk menegakkan eksistensi agama. Atau secara umum, perjuangan tersebut bisa diartikan sebagai upaya-upaya untuk melakukan serangan terhadap gerakan tertentu yang mengancam eksistensi sebuah keyakinan. Rupanya, telah terjadi banyak pengaburan makna dari kata "jihad". Inilah yang perlu diluruskan secara detil; meski orang awam pun takkan setuju jika jihad diartikan melulu sebagai peperangan.
Tafsir Kalimat Jihad
Makna yang tersirat di balik kalimat jihad memang banyak, namun semua itu bermuara pada kalimat Arab, "badzl al juhd" (yang berarti; pengerahan kemampuan). Dari kalimat ini, tampaklah bahwa jihad tak melulunya sebuah peperangan atau gerakan yang diantara syarat dan rukunnya adalah sebuah kematian. Makna kalimat ini secara umum bisa diartikan sebuah sumbangan sedekah dari beberapa orang yang mempunyai kekuatan ekonomi. Bisa juga diartikan sebagai pengorbanan waktu untuk menggelar acara dakwah-dakwah atau majlis ilmiah bagi beberapa orang yang memiliki kemampuan pengetahuan yang mumpuni. Intinya, segala perbuatan yang didasari pengorbanan yang bermanfaat untuk agama, bisa disebut jihad. Namun yang paling identik dari kata jihad adalah kesan "sabilillah" (perjuangan di jalan Allah) dan "syahid". Dan yang akan kita bicarakan kali ini adalah jihad yang berarti peperangan. Kita akan membicarakan tentang kontektualisasi, definisi, dan relevansinya.
Asal dan Tujuannya
Meskipun kalimat jihad sering disebut dalam al Quran di surat-surat Makkiyah (yang diturunkan di kota Makkah), namun pertama kali disyariatkan setelah hijrahnya Rasulullah Saw ke Madinah. Tentu hal ini tidak aneh, karena jihad-jihad yang dimaksudkan dalam surat-surat Makkiyah adalah jihad yang bukan dengan mengunus pedang di padang medan perang, namun lebih tepatnya sebagai perbuatan yang didasari tujuan pengagungan kalimat Allah (i'la kalimatillah). Dan hal tersebut dilakukan dalam rangka mendukung agenda-agenda agama dalam menyebarkan risalah untuk umat manusia kala itu. Hal ini menimbulkan kejanggalan mengapa jihad sebelum hijrah dan sesudah hijrah tidak sama dalam realisasinya?
Lalu, apa tujuan dari jihad itu? Benarkah jihad adalah sebuah tindakan yang bertujuan memaksakan akidah manusia agar seluruhnya tak terjerembab dalam kekufuran? Benarkah jihad dilakukan untuk memaksa semua orang untuk memeluk agama Islam, baik orang itu menerimanya dengan akal dan hati ikhlas atau memberontak?
Seorang ulama pentolan dari tanah Syam, Dr. M. Sa'id Ramdhan al Bouthy (untuk selanjutnya disebut dengan "al Bouthy") dalam bukunya yang berjudul "Qadhaya Fiqhiyyah Mu'ashirah" menegaskan pentingnya mengetahui kondisi Islam sebelum dan pasca hijrah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kejanggalan-kejanggalan di atas. Al Bouthy menjelaskan bahwa di era sebelum hijrah, umat Islam pada waktu itu masih menjadi sebuah embrio-embrio kecil. Belum terlihat tanda-tanda kekuatan untuk menghentak dunia dan menyusun organisasi yang solid. Pengikutnya pun jauh lebih sedikit ketimbang Islam pasca hijrah. Boleh dikata, marjinal.
Namun tak lama kemudian, ketika umat Islam hijrah ke Madinah dan menetap disana, Islam pun mulai diikuti hingga pemeluknya semakin banyak. Sejak itu, mulailah mereka menyusun rencana-rencana untuk kepentingan eksistensi agama mereka. Pertama-tama mereka mendaulat negara dengan sebutan "Dar al Islam". Negara-negara yang disebut dar al Islam akan menggunakan peraturan sesuai dengan 'nidzam' (peraturan) agama tersebut. Kedua, "Mujtama' Islami" (Persatuan Umat Islam) dengan tujuan agar umat Islam sedunia bisa terorganisir secara baik di bawah peraturan-peraturan agama. Dimulai dari sini akhirnya terbentuk daulat Islamiyah dengan tiga aspek yang dimilikinya (wilayah, umat dan konstitusi).
Setelah memiliki tiga unsur di atas, mulailah terpikulkan kewajiban atas agama tersebut untuk menjaga kelestariannya. Hingga akhirnya, mau tidak mau, umat Islam terpaksa harus berjihad untuk mempertahankan eksistensinya dari manuver-manuver serangan musuh yang senantiasa mengancam penuh kebencian. Nah, dengan ini, maka jelaslah bahwa tujuan jihad adalah untuk menjaga stabilitas tiga aspek di atas yang jantungnya ada dalam tatanan kedaulatan tersebut. Sangat keliru bila dikatakan bahwa Islam menyariatkan jihad untuk menghegemoni umat sedunia agar tunduk kepada agama tersebut.
Al Bouthy, sebagai salah seorang pemikir yang terkenal lihai dalam mendesain watak hukum menjadi serasional mungkin, mencoba membuat semacam pendekatan secara praktis dan diplomatis. Ia menyatakan bahwa, jika memang jihad itu disyariatkan dengan tujuan menghapus kekufuran, lantas kenapa Islam melarang membunuh wanita-wanita kafir harbi atau orang-orang tua yang telah pikun? Ini jelas membuktikan bahwa tujuan disyariatkannya jihad justru untuk mencegah peperangan. Orang tua, wanita-wanita dan anak kecil yang tak mungkin akan melakukan perlawanan tidak boleh dibunuh, menandakan bahwa agama ini memang tidak menghendaki adanya aktivitas saling bunuh. Maka, tujuan penyelenggaraan jihad, selain untuk menjaga eksistensi agama, juga untuk mencegah terjadinya aktivitas saling bunuh.
Al Imam Muhammad bin Muhammad al Ghazali dalam bukunya yang berjudul "al Mankhul" menyatakan, "Pasukan Rum, jika tidak diperangi, maka akan memerangi." Pernyataan Imam Ghazali ini semakin menegaskan bahwa agenda jihad bukanlah gerakan menyerang lawan, tapi semata-semata untuk sebuah pertahanan. Dalam dunia sepak bola, kita mengenal istilah taka-tiki 'ala Barcelona. Sebuah permainan sepak bola yang diawali dari filosofi total football 'ala Timnas Belanda untuk menandingi grendel pertahanan kokoh Timnas Italia yang kala itu terkenal dengan sebutan 'Catenaccio'. Strategi ini mengusung permainan menyerang dan penguasaan bola yang dominan.
Filosofi total football ini dibangun di atas sebuah prinsip bahwa, "Pertahanan terkuat adalah dengan menyerang." Agaknya, orang-orang Belanda itupun terinspirasi oleh cara agama Islam mempertahankan eksistensinya, yaitu bertahan dalam penyerangan.Tapi sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa setiap kali 'menyelenggarakan acara jihad', bukan berarti Islam akan membabi buta dalam membantai lawan. Tentu saja karena Rasulullah pun tak pernah menyerukan jihad jika memang kondisi umat Islam tidak terancam serbuan lawan, kecuali peristiwa perang Khaibar. Dalam hal ini al Bouthy meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bertindak lebih dulu sebelum kaum Yahudi menyerang Islam dalam perang Khaibar. Hal ini dilakukan bukan berarti tanpa alasan. Rasulullah Saw melakukan hal itu karena memang sudah mengetahui lebih dulu akan ancaman pasukan Yahudi Khaibar yang setiap saat dapat mengejutkan umat Islam.
Satu lagi yang perlu diperhatikan, dalam literatur fiqh mazhab Syafi'i, Islam menegaskan tentang kewajiban jihad yang bersifat kifa'i (fardh kifayah). Namun, hukum ini baru berlaku wajib jika orang kafir berada di wilayah orang Islam. Ini jelas mengindikasikan bahwa Islam tidak akan mengganggu jika memang tidak diganggu. Alhasil, jelaslah sudah bahwa pada dasarnya, jihad bukanlah untuk tujuan Islamisasi. Jihad hanyalah sebuah langkah pasif untuk bertahan dan mencegah terjadinya 'jihad' dari pihak lain.
Ala kulli hal, setelah kami uraikan di atas tentang dasar-dasar dan awal mula munculnya jihad, tampaklah kini bahwa jihad adalah salah satu benteng pertahanan agama di masa silam. Terlihat pula dengan jelasnya bahwa Islam merupakan agama yang gagah dan pantang memerangi orang-orang yang tak mungkin melakukan perlawanan. Maka, jelaslah bahwa tindakan terorisme yang akhir-akhir ini banyak dilancarkan oleh oknum-oknum yang mengaku Islam, sangat tidak patut dinisbatkan pada agama ini. Terlebih ketika kita melihat betapa tindakan teror tidak akan dilakukan kecuali oleh orang-orang berjiwa pengecut. Maka, kembalilah bahwa Jihad yang bisa ditiru di akhir zaman ini justru jihad dengan gaya pra-hijrah. Yaitu dengan berdakwah, menyampaikan risalah dan lain sebagainya. Agaknya, ulama-ulama besar seperti ulama Yaman, Mesir, Syam dan Hijaz pun tidak setuju dengan praktek jihad 'qitaly' (perang fisik) di zaman sekarang. Maka, jihad paling mungkin di saat seperti ini adalah perang intelektual atau mengembangkan talenta untuk menghidupkan khazanah pemikiran Islam agar tak terasingkan zaman dan terlempar dari kenyataan.
Referensi :
1. Al Khatib al Syirbini, Mughni al Muhtaj, 4/ 234.
2. Al Imam Malik, al Mudawwanah, 2/ 6.
3. Ibn Rusydi, Bidayah al Mujtahid, 1/ 369-370.
4. Al Bouthy, Muhammad Sa'id Ramdhan, Qadhaya Fiqhiyah Mu'ashirah, 376-382. Cet. Dar al Farabi.
0 Komentar