Selama ini,
dunia perpolitikan selalu dipersepsikan dengan sesuatu yang negatif. Pandangan
seperti ini tidaklah seluruhnya salah. Mengingat hampir setiap hari kita
menyaksikan berita dari media massa, baik cetak maupun online yang selalu
memberitakan hal-hal negatif dari politik, di satu sisi. Sementara itu, pada
sisi yang lain, sedikit sekali politikus yang benar-benar concern
berkorban untuk kepentingan rakyat dan negara. Alih-alih berani berkorban,
pemandangan yang ada adalah banyaknya politikus yang melakukan tindakan korupsi
dengan berbagai macam cara. Sungguh keadaan yang sangat memprihatinkan.
Terlebih untuk masa depan bangsa Indonesia.
Menarik untuk dipaparkan dalam tulisan ini,
bahwa hubungan antara ulama dan politik ternyata saling berkait kelindan.
Berpolitik tidak harus terjun langsung ke lapangan. Misalnya dengan menjadi
anggota dewan legislatif. Tetapi lebih dari itu, politik yang dikembangkan oleh
para ulama dan kiai adalah politik yang berwawasan kebangsaan. Artinya, politik
bagi para ulama hanya sebatas mediator (wasilah) untuk mencapai
maksud-maksud tertentu, yaitu untuk menegakkan agama Islam serta menjaga
stabilitas bangsa dan negara.
Ketika zaman
pra kemerdekaan dahulu, banyak para politikus, negarawan, bahkan pemimpin laskar
perang yang jejer pandita atau—dalam istilah kaum santri—mengaji (audiensi)
kepada kepada kiai-ulama. Kita bisa melihat, misalnya, bagaimana Soekarno
pernah nyantri kepada seorang ulama di pesantren Sukanegara-Cianjur, Jenderal
Sudirman berguru kepada Kiai Mahfudz, Jetis, selatan Ponorogo, dan Tan Malaka juga
pernah berguru kepada KH. Hasyim Asy'ari di Pesantren Tebuireng Jombang. Mereka
semua datang kepada para ulama untuk meminta pencerahan ketika sedang menghadapi
situasi-situasi genting dan momen krusial. Hal ini menjadi bukti kongkrit
betapa ulama mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam dunia perpolitikan
saat itu.
Kemaslahatan Umum sebagai Basis Politik Kebangsaan
Politik,
sebagaimana ungkapan Aristoteles, adalah sebuah jalan untuk mewujudkan
kemaslahatan masyarakat. Senada dengan Aristoteles, sejak ratusan tahun yang
lalu, sebenarnya para ulama juga telah merumuskan sebuah kaidah “Fikih Politik”.
Kaidah itu berbunyi “tasharruf al-imam ala ar-ra'iyyah manuthun bil-mashlahah”
(kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/pejabat negara harus berorientasi pada kemaslahatan).
Kaidah inilah yang sampai saat ini terus menjadi spirit para kiai-ulama untuk
memperjuangkan Islam lewat jalur politik.
Dengan
berangkat dari aspek maslahat ini, para kiai-ulama telah memainkan peranannya
sebagai counters hegemoni. Yaitu sebuah upaya untuk melakukan perlawanan
terhadap kekuasaan yang cenderung melakukan penguasaan terhadap seluruh dimensi kehidupan politik dan
pemerintahan. Hal ini pernah ditunjukkan oleh
KH. Bisyri Syamsuri pada saat Sidang Umum MPR tahun 1978 dengan melakukan walk
out sebagai bentuk protes kepada pemerintah yang telah memberi tempat
terhormat pada aliran kepercayaan.
Pemahaman
secara mendalam atas kemaslahatan umum pula yang mendorong KH. Ahmad
Siddiq—mantan Rais Aam PBNU—pada pembukaan Muktamar NU di Krapyak Yogyakarta
(1989) untuk menyatakan keputusan NU menerima Pancasila sebagai asas berbangsa
dan bernegara sudah final. Efek dari pernyataan sikap ini sangat luar biasa
sekali. Dimana hubungan antara pemerintah dengan Islam pun terasa sangat
harmonis yang ditandai dengan menipisnya kecurigaan terhadap Islam.
Pertanyaan yang
relevan dikemukakan di sini, lantas bagaimana tanggapan para kiai-ulama
terhadap ideologi “Trans-Nasional”, seperti isu pendirian khilafah islamiyah,
yang dengan jelas menolak Pancasila sebagai dasar negara dan mengancam keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Jika menolak, apa alasan yang
melatarinya? Padahal, secara kasat mata, ideologi ini ingin memperjuangkan
aspirasi umat Islam.
Sejauh pengamatan penulis selama ini, para
kiai-ulama nasionalis kita masih belum bisa menerima ideologi impor tersebut. Bahkan,
ulama sekaliber KH. Ma’ruf Amin (ketua MUI) juga
bersikap apatis ketika ada kelompok yang
mengusulkan agar memasukkan isu khilafah dalam agenda keputusan MUI.
Untuk mengetahui keengganan kiai-ulama
nasionalis terhadap isu khilafah ini, setidaknya beberapa analisa Ahmad
Baso—mantan anggota Komnas HAM—manarik untuk diutarakan di sini. Pertama,
ideologi ini hadir dalam bentuk gerakan politik (political movement) untuk
mempengaruhi kebijakan negara dan pemerintahan. Dimana gerakan ini dipimpin
oleh komando global, bukan dari Indonesia sendiri.
Kedua, pengusung ideologi ini tidak
mengenal istilah kebangsaan dan nasionalisme. Oleh karenanya, mereka tidak
mengenal Tanah Air yang sedari dulu dipertahankan dan diperjuangkan mati-matian
oleh founding fathers bangsa ini. Ketiga, isu khilafah
ditarik ke dalam umat Islam Indonesia sebagai kampanye pemurnian pemahaman
keislaman. Seakan mayoritas umat Islam Indonesia tidak dianggap beriman hanya
karena menolak agenda khilafah.
Jadi, sangat jelas
sekali bahwa isu penegakan khilafah islamiyyah (khilafah establishing)
ini menjadi tidak relevan diterapkan di Indonesia bukan saja karena bertolak
belakang dengan asas Pancasila. Akan tetapi, terutama dari segi teologis (aqidah),
juga berlawanan dengan aqidah mayoritas umat Islam di Indonesia, yaitu
Aswaja. Dari sini, keengganan kiai-ulama terhadap ideologi “Trans-Nasional”
mendapatkan pembenarannya.
Sebagai penutup
dalam tulisan ini, ulama dengan segenap wawasan kebangsaannya yang begitu
tinggi ternyata mampu memposisikan dirinya, selain ditaati oleh masyarakat
umum, sekaligus juga disegani oleh lawan politiknya. Dengan semangat kebangsaan
pula mereka mampu mendebat ideologi yang datang dari luar, baik ideologi kanan
maupun kiri. Politik kebangsaan para kiai-ulama ini tidaklah muncul begitu saja
dari ruang hampa. Tetapi, kekuatan itu muncul dari hasil pemahaman yang
mendalam atas turats klasik dengan realitas social-politik yang mengitarinya.
Pada akhirnya,
sebagai penerus perjuangan para kiai-ulama, sudah sepatutnya apabila generasi
muda Islam masa kini juga meneladani perjuangan mereka dalam membela agama
Islam serta menjaga kedaulatan NKRI sebagai representasi hubbul wathon
mina-l-iman. Tentunya, ini semua tidak akan bisa digapai tanpa usaha yang
sungguh-sunguh dalam mendalami ilmu agama secara utuh. Tidak hanya sepotong-potong.
Dengan demikian, spirit qurani yang berbunyi, baldatun thoyyibatun wa
robbun ghofur akan segera teraktualisasikan di tanah Indonesia.[]
Zainal Fanani, mahasiswa jurusan Syariah Universitas Al-Ahgaff, Tarim, Hadhramout,
Yaman dan co-author buku “Kodifikasi Interdisipliner”.
0 Komentar