Ulama dan Politik Kebangsaan

Ulama dan Politik KebangsaanOleh Zainal Fanani
Selama ini, dunia perpolitikan selalu dipersepsikan dengan sesuatu yang negatif. Pandangan seperti ini tidaklah seluruhnya salah. Mengingat hampir setiap hari kita menyaksikan berita dari media massa, baik cetak maupun online yang selalu memberitakan hal-hal negatif dari politik, di satu sisi. Sementara itu, pada sisi yang lain, sedikit sekali politikus yang benar-benar concern berkorban untuk kepentingan rakyat dan negara. Alih-alih berani berkorban, pemandangan yang ada adalah banyaknya politikus yang melakukan tindakan korupsi dengan berbagai macam cara. Sungguh keadaan yang sangat memprihatinkan. Terlebih untuk masa depan bangsa Indonesia.
 Menarik untuk dipaparkan dalam tulisan ini, bahwa hubungan antara ulama dan politik ternyata saling berkait kelindan. Berpolitik tidak harus terjun langsung ke lapangan. Misalnya dengan menjadi anggota dewan legislatif. Tetapi lebih dari itu, politik yang dikembangkan oleh para ulama dan kiai adalah politik yang berwawasan kebangsaan. Artinya, politik bagi para ulama hanya sebatas mediator (wasilah) untuk mencapai maksud-maksud tertentu, yaitu untuk menegakkan agama Islam serta menjaga stabilitas bangsa dan negara.
Ketika zaman pra kemerdekaan dahulu, banyak para politikus, negarawan, bahkan pemimpin laskar perang yang jejer pandita atau—dalam istilah kaum santri—mengaji (audiensi) kepada kepada kiai-ulama. Kita bisa melihat, misalnya, bagaimana Soekarno pernah nyantri kepada seorang ulama di pesantren Sukanegara-Cianjur, Jenderal Sudirman berguru kepada Kiai Mahfudz, Jetis, selatan Ponorogo, dan Tan Malaka juga pernah berguru kepada KH. Hasyim Asy'ari di Pesantren Tebuireng Jombang. Mereka semua datang kepada para ulama untuk meminta pencerahan ketika sedang menghadapi situasi-situasi genting dan momen krusial. Hal ini menjadi bukti kongkrit betapa ulama mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam dunia perpolitikan saat itu.
Kemaslahatan Umum sebagai Basis Politik Kebangsaan
Politik, sebagaimana ungkapan Aristoteles, adalah sebuah jalan untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat. Senada dengan Aristoteles, sejak ratusan tahun yang lalu, sebenarnya para ulama juga telah merumuskan sebuah kaidah “Fikih Politik”. Kaidah itu berbunyi “tasharruf al-imam ala ar-ra'iyyah manuthun bil-mashlahah” (kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/pejabat negara harus berorientasi pada kemaslahatan). Kaidah inilah yang sampai saat ini terus menjadi spirit para kiai-ulama untuk memperjuangkan Islam lewat jalur politik.
Dengan berangkat dari aspek maslahat ini, para kiai-ulama telah memainkan peranannya sebagai counters hegemoni. Yaitu sebuah upaya untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan yang cenderung melakukan penguasaan terhadap seluruh dimensi kehidupan politik dan pemerintahan. Hal ini pernah ditunjukkan oleh KH. Bisyri Syamsuri pada saat Sidang Umum MPR tahun 1978 dengan melakukan walk out sebagai bentuk protes kepada pemerintah yang telah memberi tempat terhormat pada aliran kepercayaan.
Pemahaman secara mendalam atas kemaslahatan umum pula yang mendorong KH. Ahmad Siddiq—mantan Rais Aam PBNU—pada pembukaan Muktamar NU di Krapyak Yogyakarta (1989) untuk menyatakan keputusan NU menerima Pancasila sebagai asas berbangsa dan bernegara sudah final. Efek dari pernyataan sikap ini sangat luar biasa sekali. Dimana hubungan antara pemerintah dengan Islam pun terasa sangat harmonis yang ditandai dengan menipisnya kecurigaan terhadap Islam.
Pertanyaan yang relevan dikemukakan di sini, lantas bagaimana tanggapan para kiai-ulama terhadap ideologi “Trans-Nasional”, seperti isu pendirian khilafah islamiyah, yang dengan jelas menolak Pancasila sebagai dasar negara dan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Jika menolak, apa alasan yang melatarinya? Padahal, secara kasat mata, ideologi ini ingin memperjuangkan aspirasi umat Islam.
 Sejauh pengamatan penulis selama ini, para kiai-ulama nasionalis kita masih belum bisa menerima ideologi impor tersebut. Bahkan, ulama sekaliber KH. Maruf Amin (ketua MUI) juga bersikap apatis ketika  ada kelompok yang mengusulkan agar memasukkan isu khilafah dalam agenda keputusan MUI.
 Untuk mengetahui keengganan kiai-ulama nasionalis terhadap isu khilafah ini, setidaknya beberapa analisa Ahmad Baso—mantan anggota Komnas HAM—manarik untuk diutarakan di sini. Pertama, ideologi ini hadir dalam bentuk gerakan politik (political movement) untuk mempengaruhi kebijakan negara dan pemerintahan. Dimana gerakan ini dipimpin oleh komando global, bukan dari Indonesia sendiri.
 Kedua, pengusung ideologi ini tidak mengenal istilah kebangsaan dan nasionalisme. Oleh karenanya, mereka tidak mengenal Tanah Air yang sedari dulu dipertahankan dan diperjuangkan mati-matian oleh founding fathers bangsa ini. Ketiga, isu khilafah ditarik ke dalam umat Islam Indonesia sebagai kampanye pemurnian pemahaman keislaman. Seakan mayoritas umat Islam Indonesia tidak dianggap beriman hanya karena menolak agenda khilafah.
Jadi, sangat jelas sekali bahwa isu penegakan khilafah islamiyyah (khilafah establishing) ini menjadi tidak relevan diterapkan di Indonesia bukan saja karena bertolak belakang dengan asas Pancasila. Akan tetapi, terutama dari segi teologis (aqidah), juga berlawanan dengan aqidah mayoritas umat Islam di Indonesia, yaitu Aswaja. Dari sini, keengganan kiai-ulama terhadap ideologi “Trans-Nasional” mendapatkan pembenarannya. 
Sebagai penutup dalam tulisan ini, ulama dengan segenap wawasan kebangsaannya yang begitu tinggi ternyata mampu memposisikan dirinya, selain ditaati oleh masyarakat umum, sekaligus juga disegani oleh lawan politiknya. Dengan semangat kebangsaan pula mereka mampu mendebat ideologi yang datang dari luar, baik ideologi kanan maupun kiri. Politik kebangsaan para kiai-ulama ini tidaklah muncul begitu saja dari ruang hampa. Tetapi, kekuatan itu muncul dari hasil pemahaman yang mendalam atas turats klasik dengan realitas social-politik yang mengitarinya.
Pada akhirnya, sebagai penerus perjuangan para kiai-ulama, sudah sepatutnya apabila generasi muda Islam masa kini juga meneladani perjuangan mereka dalam membela agama Islam serta menjaga kedaulatan NKRI sebagai representasi hubbul wathon mina-l-iman. Tentunya, ini semua tidak akan bisa digapai tanpa usaha yang sungguh-sunguh dalam mendalami ilmu agama secara utuh. Tidak hanya sepotong-potong. Dengan demikian, spirit qurani yang berbunyi, baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur akan segera teraktualisasikan di tanah Indonesia.[]

Zainal Fanani, mahasiswa jurusan Syariah Universitas Al-Ahgaff, Tarim, Hadhramout, Yaman dan co-author buku “Kodifikasi Interdisipliner”.

Posting Komentar

0 Komentar