Peran Ulama dalam Membangun Moral Politik Bangsa

Oleh: Hasan Bashri Hayyi


A. Pendahuluan
T
ema keikutsertaan aktifis islam baik dari kalangan ulama’, du'aat dan pemikirnya dalam pertarungan politik hingga kini masih saja menjadi tema yang menarik dan hangat untuk diperbincangkan, hal itu terbukti dengan adanya pro maupun kontra dikalangan mereka yang mengkaji dan mendiskusikannya.
Polemik ini jika diteliti lebih jauh bukanlah polemik yang baru terjadi kali ini, namun sudah sejak dulu bahkan sejak berabad-abad silam, tema keterlibatan para ulama dan cendikiawan muslim secara politis dalam penyelenggaraan Negaram, baik sebagai eksekutif, legislatif, maupun yudikatif selalu menjadi perdebatan yang hangat dikaji.
Dan siapapun yang membeca literatur-literatur zaman itu akan menemukan misalnya bagaimana sebagian ulama mengingatkan bahaya mendekati "Pintu Sultan", atau bahkan menolak jabatan sebagai seorang qadhi. Tentu saja perdebatan itu tidak dalam kapasitas memvonis haram halalnya "Profesi Politis" tersebut, tetapi hanya sebatas mempersoalkan boleh atau makruhnya hal tersebut, dan tentu saja kemakruhan ini berlandskan sikap wara' semata, tidak lebih dari itu. Dan sikap wara' sendiri jika ditelisik lebih jauh nampaknya dilandasi oleh dua hal:
Pertama: tingkat resiko pertanggung jawaban yang sangat besar yang terdapat dalam jabatan tersebut.
Kedua: bahwa posisi yudikatif (qodha') secara khusus memiliki keterkaitan yang begitu kuat dengan posisi imamah kubra (kepemimipinan tinggi) yang dalam hal ini dipegang oleh khalifah yang memiliki sifat keadilan yang berbeda-beda.
B. Hakikat Ulama
Kata ulama merupakan bentuk plural dari kata ‘alim, secara etimologi kata ‘alim berarti orang yang berpengetahuan.
Sedangkan secara terminologi ulama adalah orang yang ilmunya mampu mengantarkan dia kepada khasyyah (yakni rasa takut dan kagum kepada Allah), yang pada gilirannya hal itu akan mendorong orang ’alim yang bersangkutan untuk menerapkan ilmunya serta memanfaatkannya untuk kepentingan makhluk.
Allah Swt. berfirman dalam Surat Fathir ayat 28:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ [فاطر: 28]
Artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”. (QS. Fathir (35): 27-28.
Dan Rasulullah Saw. Bersabda:
إن العلماء ورثة الأنبياء ... رواه أبوداود, والترمذي, وابن ماجة.
Artinya: “Ulama adalah pewaris para Nabi (Waratsah Al Anbiya’)” HR. Abu Dawud, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah.
Hadits ini menjelaskan akan pentingnya ulama dalam meneruskan misi kenabian (nubuwwah) di muka bumi. Ulama berperan menegakkan hukum Allah, memperjuangkan kebenaran dan keadilan serta selalu mengedepankan kepentingan umat demi perwujudan kemaslahatan umat Islam itu sendiri.
Dari deskripsi sederhana ini, terpikir oleh kita bahwa ulama ada yang baik (yang benar dengan keulamaannnya) dan ada yang tidak baik (‘ulama su’). Ulama yang baik dan benar inilah yang dapat membangun bangsa ini ke depan menjadi lebih baik. Inilah yang disebut “Politik Ulama”. Sedangkan, ulama yang tidak baik (ulama su’) justru akan semakin merusak kondisi bangsa ke depan, inilah yang disebut “Ulama Politik”.
C. Peran Ulama dalam Masyarakat
Ulama dalam masyarakat islam begitu terhormat, hal ini berkaitan dengan sabda Nabi Muhammad Saw. bahwa ulama adalah warasah al ‘anbiya (pewaris para nabi). Ulama mewarisi tugas para nabi dalam berdakwah menyampaikan yang hak, dan turut serta memerangi yang bathil, amar ma’ruf nahi munkar,  menyampaikan yang benar kepada masyarakat maupun kepada penguasa. Tugas para ulama tidak melulu dalam mengkaji kitab-kitab para ulama salaf dan khalaf saja, namun mereka harus mengkaji pula berbagai persoalan umat termasuk di dalamnya masalah politik.
Ketika ulama kemudian memutuskan menarik diri dari persoalan dunia termasuk politik, kemudian memfokuskan diri hanya pada hubungannya dengan Allah, maka hal ini sangat bertentangan dengan syariat. Adakah akhirat dituju tanpa melalui dunia? jawabannya tidak. 
Sungguh setiap muslim tidak hanya dituntut kesalehan individual, tapi juga kesalehan sosial, adakah sosial itu tidak membahas politik sedang politik itu kemudian berhubungan dengan siapa yang akan memerintah umat. Meninggalkkan politik secara keseluruhan bagi seorang ulama adalah kiamat bagi umat, ketika tidak ada lagi pencerahan politik dengan haluan-haluan dan rambu-rambu syariat maka umatlah yang akan mengalami kerugian besar.

D. Pengertian Politik dalam Islam
Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah As-Siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama dikenal istilah As-Siyasah As-Syar’iyyah. Dalam Kamus Al-Muhith, Siyasah berakar kata sâsa-yasûsu. Dalam kalimat Sasa ad-dawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya).
As-siyasah juga memiliki arti mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan, mengatur kaum, memerintah, dan memimpinya. Secara tersirat dalam pengertian Al-siyasah terkandung dua dimensi yang berkaitan satu sama lain, yaitu:
1)      Tujuan yang hendak di capai melalui proses pengendalian.
2)      Cara pengendalian menuju tujuan tersebut.
Secara istilah politik (menurut islam) adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia  sesuai dengan syara’. Pengertian siyasah  lainya menurut Ibn A’qil sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnu Qayyim sebagai berikut:
قال ابن عقيل: السياسة ما كان فعلا يكون معه الناس أقرب إلى الصلاح، وأبعد عن الفساد، وإن لم يضعه الرسول - صلى الله عليه وسلم -، ولا نزل به وحي.
Artinya: politik adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah Saw. tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah Swt. tidak menentukanya dengan perantara wahyu(1).
Pandangan politik menurut syara’, realitanya pasti berhubungan dengan masalah mengatur urusan rakyat, baik oleh negara maupun rakyat. Sehingga definisi dasar menurut realita dasar ini adalah netral. Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme, sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan hukum mengatur sistem politik mereka. Dari sinilah muncul pengertian politik yang mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi netral.
E. Dalil Berpolitik dalam Islam
Rasulullah Saw. sendiri melafalkan kata siyasah (politik) dalam sabda beliau:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء، كلما هلك نبي خلفه نبي، وإنه لا نبي بعدي، وسيكون خلفاء »  رواه البخاري و المسلم.
Artinya: Bani Israil dulunya (urusan mereka) diatur oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantikannya. Dan sesungguhnhya tidak ada nabi setelahku, (tetapi) yang akan ada adalah para khalifah. (HR. Bukhari dan Muslim).
Melalui hadis tersebut jelaslah bahawa politik atau siyasah itu bermakna mengatur urusan masyarakat.
Rasulullah Saw. Bersabda dalam hadisnya :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «من لم يهتم بأمر المسلمين فليس منهم، ومن لم يصبح ويمس ناصحا لله ولرسوله ولكتابه ولإمامه ولعامة المسلمين فليس منهم» رواه الطبراني.
Artinya: “Barang siapa yang tidak memperhatikan urusan Kaum Muslimin maka ia bukan termasuk dari golongan mereka, dan barang siapa yang terjaga di pagi hari dan di sore hari dan tidak memberikan nasehat karena Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, dan semua kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)”. (HR. Thabrani). (2)
F. Politik dalam Persepektif Ulama
Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Wajib diketahui bahwa mengurusi dan melayani kepentingan manusia merupakan kewajiban terbesar agama, dimana agama dan dunia tidak bisa tegak tanpanya. Sungguh Bani Adam tidak akan lengkap kemaslahatannya dalam agama tanpa adanya jamaah, dan tidak akan ada jamaah tanpa adanya kepemimpinan.
Nabi Saw. bersabda dalam haditsnya:
قال النبي صلى الله عليه وسلم: «إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم» . رواه أبو داود
 Artinya: “Jika tiga orang keluar untuk bepergian maka hendaklah mereka mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin”. (HR. Abu Dawud).
Nabi mewajibkan umatnya mengangkat pemimpin bahkan dalam kelompok kecil sekalipun, dalam rangka melakukan amar ma’ruf nahi munkar, melaksanakan jihad, menegakkan keadilan, menunaikan haji, mengumpulkan zakat, mengadakan salat hari raya, menolong orang yang dizalimi, dan menerapkan hukum hudud.(1)
Lebih jauh Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa “Kedudukan Agama dan Negara ”saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya, sementara tanpa wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik”. Sebab kekuasaan penguasa merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi dengan baik. Penguasa harus  mengurusi rakyatnya seperti  yang dilakukan pengembala kepada  gembalaanya. Penguasa disewa rakyatnya agar bekarja untuk kepentingan meraka, kewajiban timbal balik kepada kedua belah pihak tersebut menjadikan perjanjian dalam bentuk  kemitraan.
Imam Al-Mawardi menjelaskan dalam kitabnya bahwa as-siyasah as-syar’iyah sebagai: Kewajiban yang dilakukan kepala negara pasca kenabian dalam rangka menjaga kemurnian agama dan mengatur urusan dunia (hirosah ad din wa raiyyah ad dunya)(2).
Imam Ghazali menulis dalam kitabnya (Ihya' Ulumuddin) bahwasanya politik ataupun al-siyasah dalam memperbaiki Makhluk Allah dan memberi petunjuk kepada mereka ke jalan yang lurus yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat terurutkan ke dalam empat tingkatan:
Pertama: yaitu martabat tertinggi adalah siyasah para nabi, dan hukum mereka berlaku kepada semua golongan baik khas maupun awwam, zahir maupun batin.
Kedua: siyasah para khalifah, raja dan sultan, dan hukum mereka juga berlaku kepada semua golongan baik khas maupun awwam, akan tetapi terbatas dalam hukum zahir saja bukan batin.
Ketiga: siyasah al-ulama billah azza wajal wa bi dinihi yang merupakan pewaris para nabi (Ulama Tasawuf yang menggabungkan antara hakikat dan syariat), dan hukum mereka hanya berlaku kepada golongan khas saja serta terbatas pada hukum batin, kerana golongan awam tidak mampu untuk mengambil faedah dari mereka.
Keempat: siyasah para da’i, dan hukum mereka hanya berlaku pada golongan awwam dan terbatas pada hukum batin saja.
Dan siyasah yang paling mulia selepas nubuwwah adalah mengutamakan peyebaran ilmu yang bermanfaat serta memperelok jiwa manusia daripada akhlak mazmumah yang membinasakan, dan juga menunjuki manusia untuk berakhlak mahmudah yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan di akhirat kelak. (3)


G. Tugas-Tugas Ulama dalam berpolitik
Aktivitas para ulama dalam politik sebenarnya dapat dikutubkan dalam beberapa hal, berikut diantaranya:
1)      Menjaga kejernihan pemikiran umat
Pemikiran umat dalam bidang politik haruslah dijaga dan dituntun, tidak bisa dibiarkan liar mengikuti hawa nafsu serta mengikuti pemikiran-pemikiran menyimpang yang bertentangan dengan syariat. Ulama yang faham mana yang bertentangan dengan syariat dan mana yang tidak harus segera bertindak ketika mengetahui adanya gejala-gejala politik berbahaya yang akan dihadapi umat ke depannya. Dengan begitu kejernihan pemikiran umat dapat dipertahankan.
2)      Melakukan fungsi kontrol terhadap penguasa
Ketika penguasa menerobos lampu merah, maka ulama harus segera memberlakukan surat tilang, memperingatkan penguasa agar tidak berbuat hal yang demikian di kemudian hari. Jika para penguasa bertahan dengan kesalahan-kesalahannya, dan ulama hanya sibuk di perpustakaannya, maka umat lah yang akan dirugikan. Dan kedudukan ulama sebagai warasah al ‘anbiya menjadi tidak relevan dalam kehidupan umat.
Kita ingat bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal dipenjara oleh penguasa kala itu sebab tidak sepaham dengan pernyataan penguasa yang menyatakan bahwa Al Quran adalah makhluk, tanpa ada rasa takut atau sungkan, yang ada adalah prinsip bahwa sesuatu yang hak itu harus disampaikan dan yang batil itu mesti dilenyapkan apapun resikonya.
3)      Melakukan perang pemikiran
Di masa sekarang ini perang pemikiran antar faham dan ideologi tidak dapat dihindarkan. Pemikiran islam diserang bertubi-tubi dari samping kanan dan samping kiri, dari belakang juga dari depan. Peran ulama dalam melakukan perang pemikiran dengan orang-orang yang telah terkontaminasi dengan pemikiran pluralisme, liberalisme, dan juga sekulerisme amat sangat dibutuhkan pada saat-saat ini. jika kemudian ulama abai, pemikiran umatlah yang rusak, sehingga berkonsekuensi terhadap pengacuhan syariat dan berkiblat kepada pemikiran-pemikiran sesat. Sekali lagi bahwa peran ulama sangat vital.
4)      Memberikan solusi politik
Ketika politik dihadapkan kepada masyarakat dalam bentuk pemilihan umum misalnya adalah sah-sah saja jika ulama kemudian mengeluarkan pendapatnya di hadapan jamaah dan umat, manakah yang layak untuk dipilih dan mana yang tidak?. Asalkan ulama dapat berhujjah sesuai dengan syariat tanpa melakukan hal-hal yang menyimpang dari syariat semisal fitnah dan lainnya, maka ini adalah termasuk peran politik ulama. Jadi tidak benar jika kemudian meminta ulama untuk tidak memberikan solusi politik ketika sebagian pihak hendak menabrak hukum syariat dengan dalih kebebasan dan alam demokrasi.
5)      Menggerakkan masyarakat untuk berjihad politik
Berjihad politik dengan menegakkan kesadaran politik yang santun dan bersih, meninggalkan hal-hal kotor. Tetapi sekali lagi, dewasa ini banyak orang yang menyampaikan sesuatu berlandaskan syariat dianggap melakukan politik kotor dengan berdalil bahwa negara ini tidak berlandaskan hukum kelompok tertentu. Hal-hal seperti inilah yang menjadi sasaran jihad para ulama, agar tiang kebenaran syariat berdiri pada tempatnya.Ulama tidak boleh tinggal diam ketika melihat umat abai terhadap syariat padahal mereka masih menganggap syariat itu sebagai bagian dari agamanya, dan juga ketika umat lalai dan mengambil syariat yang sesuai dengan nafsunya serta meninggalkan bagian syariat yang lainnya. Sungguh syariat haruslah diambil keseluruhan dan tidak bisa dipilah-pilah berdasarkan hawa nafsu.
H. Kesimpulan dan Penutup
Jadi peran ulama dalam pemerintahan sangat dibutuhkan. Ulama harus dilibatkan  Dalam setiap perumusan dan juga pengambilan kebijakan yang menyangkut persoalan umat. Ulama sebagai salah satu komponen sosial harus mulai memainkan peranan penting dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umat. Maka dari itu harus dibentuk sebuah institusi ulama yang strategis dan mempunyai wewenang yang lebih daripada sekedar hanya menentukan hari pertama Bulan Ramadhan atau Hari Idul Fitri saja. Ulama misalnya harus dilibatkan dalam pembahasan anggaran, sehingga mereka dapat memberikan masukan-masukan agar anggaran tersebut benar-benar bisa dinikmati oleh umat.
Dengan kata lain untuk mengidealkan tercapainya cita-cita dalam siyasah, negara mutlak memerlukan peran ulama dalam upayanya mewujudkan masyarakat beragama yang adil dan makmur. Selama politik masih dihadapkan pada umat, selam politik masih berkaitan dengan hidup umat, maka disitulah ulama hadir mengamalkan fungsinya sebagai warasah al ‘anbiya. Dan di sisi lain bahwa stabilitas nasional mustahil akan terwujud jika setiap elemen bangsa tidak berjalan secara sinergis dengan satu tekad dan cita-cita untuk membangun bangsa dan Negara yang tercinta ini menjadi baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.
Wallahu ‘alam.



(1) Lihat as-Siyasah as-Shar’iyah fi Syu’un al-Dusturuyah al-Khorijiyah wa al-Maliyah, karya Abdul Wahab Kholaf, hal: 22/ Vol:1
(2) Lihat al-Mu’jam al-Aushath karya al-Thabrani, hal: 270/ vol: 7.
(1) Lihat as-Siyasah as-Syar’iyyah fi ishlahi ar-Ra’I war-Ra’iyah karya Ibnu Taimiyah, hal 168
(2) Lihat: al-Ahkam al-Sultaniyyah Wa al-Wilayah al-Diniyah karya al-Mawardi, hal: 15/ vol:1.
(3) Lihat Ihya’ Ulumiddin, karya al-Ghazali hal 13/ vol: 1

Posting Komentar

0 Komentar