Narasumber : TGB. Dr. KH. M. Zainul Majdi, MA

Moderator : Ahmad Alfian Jihadi (Wakil Ketua PPI Hadhramaut 20/21)

Panitia Penyelenggara : Dep. Pendidikan dan Dakwah PPI-H bekerjasama dengan Dep. Infokom PPI-H

 

Notulasi : Reza Pahlevi dan M. Fathullah Ishak

 

Pertama; Politik itu bukan Ibadah Mahdhoh

Politik itu adalah  bagian dari muamalah, bukan bagian dari sya'ir ibadah mahdhoh yang seperti salat ataupun puasa. Dimana, ibadah salat dll ini merupakan rukun islam yang sangat pokok. Karena itu perlu sekali kita mengetahui hal ini, agar kita bisa mempelajari, memahami dan mengamalkan politik syar'iyyah secara umum dengan lebih lapang, atau hal-hal yang terkait dengan itu dan kita tidak berada dalam kebingungan ketika dihadapkan dengan dinamika politik.

Dalam islam, ketika itu merupakan ibadah mahdhoh apalagi yang pokok, maka itu akan selalu diuraikan secara detail supaya tidak salah, semisal salat. Perhatikan pada ta'rif salat! Ta'rifnya disampaikan dengan sangat detail. Adapun ta'rif yang banyak kita ketahui dan dengar adalah

الصلاة هي أقوال و أفعال مخصوصة محددة مفتتحة بالتكبير مختتمة بالتسليم

Salat adalah ucapan-ucapan dan rangkaian perbuatan yang sudah ditentukan (secara definitiv) yang diawalai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.

Ta'rif ini dijelaskan dengan sangat detail. Sehingga dalam ibadah mahdhoh yang seperti salat ini, kita hanya harus ittiba' saja dan jangan berkreasi. Berbeda dengan mua'malah. Dalam hal pokok di mu'amalah itu adalah ibahah atau ruang untuk berkreasi. Maka bila kita lihat dari definisi Siyasah/politik, hal itu tercermin. Sebagaimana definisi dari Abul Baqa' dalam al kulliyyatnya, yaitu

السياسة هي استصلاح الخلق بإرشادهم إلى طريق المنجي في العاجل و الآجل

"Politik adalah suatu proses (upaya/kerja) memperbaiki makhluk dengan memberikan arahan kepada mereka, kepada suatu jalur yang menyelamatkan di dunia dan akhirat."

Jadi kita bisa melihat perbedaan politik dengan salat yang sebagai ibadah mahdhoh dari ta'rifnya. Jangan dicampur! Jangan jadikan politik itu ibadah mahdhoh, jangan pula ibadah mahdhoh itu mau dipolitikkan.

Kemudian, ta'rif politik ini lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya ideal atau tujuan yang hendak dicapai. Disini, ta'rif politik tidak membahas proses yang dijalani, seperti apa yang dibahas tidak secara detail, apakah melewati partai dll. Jadi disinilah letak menariknya politik islam. Yakni, bagaimana politik islam itu meletakkan seluruh makhluk Allah sebagai lingkup dari kerja politik. Sehingga, politik itu tidak hanya menghadirkan kemanfaatan untuk muslim, ataupun manusia saja. Akan tetapi, politik juga harus menghadirkan kemanfaatan untuk seluruh makhluk Allah Swt. Jadi tidak boleh dalam politik islam itu ada yang merusak lingkungan, tidak boleh memperburuk keadaan orang lain, kenapa? Sebab 'istishlahul khalqi'. Yakni, kemanfaatan politik ini tidak boleh diperoleh untuk sekelompok orang saja dsb, namun harus membuat orang lain ataupun makhluk Allah mendapatkan kemanfaatan pula untuk mereka. Nah, jadi ini sangat perlu dikaji oleh para ulama', sebab konsep politik dalam islam itu adalah konsep yang mulia. Dan perlu diperhatikan, hebatnya politik islam ini adalah 'mengarahkan ke jalur (keadaan) yang menyelamatkan' tidak hanya di dunia saja, tapi juga ke arah kebaikan diakhirat.

TGB kemudian berkata ; "Saya mohon maaf dan mari berhati-hati di dalam melaksanakan kerja serta berbicara dalam masalah konteks politik. Jangan terlalu cepat bagi kita untuk mengklaim diri, bahwa politik kitalah atau  kelompok kitalah yang paling baik, sedang memvonis buruk kelompok yang lain. Jadi bila kita kembali ke definisi politik yang tadi, maka sesungguhnya setiap kerja-kerja politik yang baik, yang ada dimensi duniawii dan ukhrawinya, itu adalah sesuatu yang perlu kita dukung bersama, walaupun tidak sama pendekatannya atau beda jalurnya, tetapi dia tetap dalam konteks 'istishlahul khalqi'."

Ada definisi yang lain tentang politik, yaitu

السياسة هي ما كان من الأفعال بحيث يكون الناس معها أقرب إلى الصلاح و أبعد عن الفساد و إن لم يشرعها رسول الله صلى الله عليه سلم و لا نزل بها الوحي

"Politik itu adalah segala sesuatu aktivitas/perbuatan, dimana manusia dengannya itu menjadi lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari keburukan, walaupun tidak pernah disyariatkan langsung oleh Rasulullah saw dan tidak ada pula ayat Al-Qur'an yang secara khusus menyebutkan tentang hal itu."

Ketika sesuatu itu menghadirkan kemanfaatan dan menjauhkan manusia dari kemudharatan, maka dia termasuk siyasah atau politik yang baik. Jadi bagi para pelajar untuk memperhatikan dan meletakkan politik pada tempatnya. Politik ini bagian dari muamalah, sehingga ada kelapangan di dalam memahami dan mengamalkan konteks-konteksnya.

 

Yang ke dua; Politik itu bukan segala-galanya

Politik dalam pembahasan ahlusunnah wal jama'ah, itu banyak dibahas di dalam kitab 'al imamah'. Imamah dalam ahlusunnah wal jama'ah itu;

ليست من أصول الدين

Politik itu bukan termasuk pokok agama.""

Hanya kelompok syiah yang menjadikan imamah itu 'aslun min ushuliddin' karena dalam syiah itu berimam kepada imam-imam (dalam kelompok suatu syiah menjadikan 12 imam), itu termasuk rukun agama. Sedang kita dalam ahlusunnah wal jama'ah itu berbeda. Jadi para ulama' itu mengajarkan kita tidak boleh gampang-gampang menggunakan istilah-istilah yang memiliki muatan teologis, semisal gara-gara beda partai sampai mengkafirkan orang, atau sampai memfasikkan orang dll. Karena dalam ahlusunnah wal  jama'ah, 'imamah bukan pokok agama'. Artinya, keimanan dan keislaman seseorang itu sudah sempurna tanpa ada kaitannya langsung dengan masalah politik.

Jadi poin kedua ini intinya adalah 'meletakkan politik pada tempatnya'. Karena disitu ada ranah kebijakan, terlebih dari definisi-definisi diatas. Jadi tidak ada namanya politik itu untuk 'mengibuli atau menipu orang' atau 'bagaimana meraih kekuasaan dengan segala cara', tidak ada.

Kembali lagi kami ingatkan, politik itu bukan segala-galanya. Letakkan politik ini seperti 'wilayah' aktivitas kehidupan yang lain. Sebab dalam kehidupan muamalah kita ini memiliki banyak ruang. Ada ruang politik, ada ruang budaya, sosial, ilmu pengetahuan, dll. Tugas kita semua adalah 'wal takun minkum ummatun yad'uuny', min disini kita artikan 'min lil baya' ' artinya kalian semua itu punya kewajiban dakwah. Bagian dari ruang dakwah ini adalah mengisi ruang-ruang kehidupan, termasuk politik. Tapi kembali lagi kami ingatkan, politik itu bukan segala-galanya, sehingga kita mengorbankan segala sesuatu untuk hal itu, baik agama.

Jangan lupa juga, selain ruang politik tadi, ada juga ruang sosial. Jadi jangan gara-gara beda jalan politik, silaturrahim terbengkalai. Ada juga ruang ekonomi, jangan gara-gara fokus politik saja,  tapi ekonominya lemah 'kaadal fakru an yakuuna kufran'. Intinya jangan sampai gara-gara fokus politik saja, tapi tujuan untuk kemaslahatan umat itu kita lupakan.

 


 

Yang ke tiga; Letakkan politik pada tempatnya

Politik ini bukan segala-galanya dan bukan satu-satunya. Jadi bagi pelajar Timur Tengah, jangan sampai karena ingin belajar politik menyebabkan pelajaran yang lain terbengkalai. Fahami ilmu agama dengan baik! Sebab faham ilmu agama itu adalah pondasi yang baik untuk mewujudkan berbagai hal. Baik anda menjadi pedagang, politisi dsb.

 

Yang ke empat,

Ketika islam tidak memberikan panduan yang detail tentang politik, semisal komplit dari A-Z harus ini dan itu. Contohnya pada permasalahan salat (seperti yang diatas), rasulullah berkata "shollu kama raitumuny usholly', itu jelas dan detail. Tapi rasulullah tidak berkata 'berpolitiklah sebagaimana aku berpolitik'. Jadi islam tidak mendatailkan, tapi islam memberikan kita mabadi' atau prinsip dalam berpolitik. Yaitu yang pertama dari prinsip-prinsipnya ;al wahdah (persatuan). Persatuan ini bukan berarti kita tidak boleh beda, sebab perbedaan itu sendiri tidak masalah, lihat perbedaan pendapat imam mazhab. Dalam islam, nabi Muhammad saw mendorong agar tercipta ruang untuk berdiksusi. Coba lihat bagaimana Rasulullah saw  mengelola situasi-situasi genting ketika menghadapi serbuan dari orang Qurays. Misalkan, disana Rasulullah mengajak untuk bermusyawarah. Musyawarah pasti memiliki banyak perbedaan, tapi perbedaan itu tidak menjadi masalah. Dimana, islam mengajarkan kita seperti yang tertuang dalam surat al-Hujurat 'wa khalaqnaakum min zakarin wa untsa wa ja'alnaakum syu'uuban wa qabaaila li ta'aarofu' yakni perbedaan adalah sunnatullah. Jadi yang tidak boleh adalah 'tafaaruq wa tanaazu' yaitu ketika berbeda, mereka berpisah dan bertentangan kasar (kesalahan dalam menyikapi perbedaan). Lihat tokoh-tokoh Indonesia, pada Bung Karno dll. Mazhab ekonomi, sosial dan lain-lainnya itu masing-masing berbeda, tapi memiliki visi yang sama. Visi inilah yang kemudian disatukan untuk memperjuangkan Indonesia. Inilah yang perlu kita jaga dalam politik islam, yaitu al wahdah (persatuan). Lihat surat al Anfal, disana 'tanaazu' yang tidak boleh. Jadi berbeda pendapat itu biasa, yang penting visi. Inilah yang perlu kita bangun, agar politik islam bisa terlaksana dengan baik.

Mari kita coba kilas balik Tarikh Taysri' "Kenapa  kitab-kitab fiqih itu menjadi kitab yang paling banyak dalam menunjukkan kekayaan pemikiran dan memiliki jumlah kitab yang sangat banayk disbanding yang lain?", itu karena fiqih lah yang paling banyak menunjukkan perbedaan pendapat, mereka banyak membuat kitab untuk saling berdiskusi sehingga kekayaan pemikiran dan jumlah kitabnya pun sangat berkembang dengan pesat.

Analogi perbedaan ini seperti semisal "Saya memiliki sepeda motor, teman yang satu memilki mobil inova, yang satunya memilki jip. Ketika berada pada satu jalan raya, jangan sampai mobil inova misalnya menabrak mobil jip. Ini kan masih satu jalan. Jadi jangan senggol kiri ataupun kanan pekepada ngendara yang lain. Apalagi seandainya ada sebuah kendaraan yang mogok, kendaraan yang satunya menghampiri dan bertanya "ada masalah apa?". Ini kan indah sekali. Jadi walau ada perbedaan, kita bisa saling tolong menolong."

Salnjutnya, Al wahdah ini hadir dari ukhuwwah, kata ulama. Yaitu persatuan ini ada dari kekeluargaan. Spirit ini diambil dari Al Qur'an, yaitu 'Innamal mu'minuuna ikhwatun'. Ada juga ukhuwwah insaniyyah, ukuhuwwah wathaniyyah dll.

Para ulama berkata; Persatuan lahir dari ukhuwwah, ukhuwaah lahir dari kesatuan tanggung jawab. Yakni dalam konteks politik islam sebagaimana yang digambarkan rasulullah saw akan kesatuan tanggung jawab itu dalam sebuah hadis, "Tidaklah sempurna iman seseorang kepadaku. Kalau dia tidur malam kenyang, sedang disampingnya ada tetangga yang kelaparan dan dia tahu tetangganya kelaparan" au kama qol.

Prinsip politik islam selanjutnya adalah al Musaawat (kesetaraan), itu ilustrasinya sesuai kalam Sayyiduna Umar bin Khattab r.a :

"Jangan kamu menjajah orang, sejak kapan kita ini dibolehkan untuk menindas orang lain. Padahal mereka semua itu lahir dari ibu mereka dalam keadaan merdeka"

Dalam prinsip politik yang lain adalah 'Adaalah (keadilan), al Hurriyyat (kebebasan), as Syura (permusyawaratan) dsb. Intinya adalah politik islam ada untuk memberi kebaikan / kemaslahatan kepada makhluk. Jangan sampai lupa definisi politik yang telah kita bahas, agar kita tidak mengikuti arus sehingga lupa arti politik sebenarnya. Pastikan betul kita memiliki kekuatan dan kemampuan berupa keteguhan hati, terlebih ilmunya untuk berkecimpung di politik, sehingga kita bisa menghadirkan suatu yang menyebabkan masyarakat mendapat kemaslahatan dan jauh dari kemudharatan, sebagaimana ta'rif politik diatas.

Jadi inilah kehebatan politik islam, tidak seperti ta'rif politik yang kita baca di buku-buku lainnya. Dimana politik diartikan sebagai seni mencapai kekuasaan dengan segala cara, misalkan.

Kemudian, jangan terbawa arus persepsi yang mengatakan "politik itu kotor", sebab politik ini wadah, jadi jangan lihat politiknya tapi pandang orangnya. Apalagi kalau kita lihat politik perdefinisi yang tadi, memilki arti yang mulia, "istishlahul khalqi'. Lalau siapa yang bisa menghadirkan kebaikan-kebaikan dalam politik, maka itu adalah orang-orang yang memilki pemahaman tentang nilai-nilai tersebut. Dalam pandangan saya, seorang santri itu adalah orang-orang yang memiliki konsep yang baik tentang kehidupan. Juga memiliki  bekal-bekal dasar yang diperlukan untuk bisa ikut berkontribusi dalam dunia politik. Tapi sekali lagi, politik bukan ranah satu-satunya, jangan sampai gara-gara fokus ke politik, kita lupa mengisi ruang-ruang lain berupa ekonomi,sosial, budaya, pendidikan, riset, teknologi dsb. Padahal, ini juga penting untuk kita isi dan lengkapi.

 

Pertanyaan

Panitia ; Ketika seorang santri terjun dalam dunia politik lalu disekelilingnya menemukan sesuatu yang bertentangan dari prinsip kita sebagai seorang santri, bagaimanakah kita menyikapinya. Sebab ada anggapan bahwa, kita tidak bisa sepenuhnya "bisa bersikap jujur sesuai idealisme kita dan harus mengalah untuk kepentingan yang lain"?

TGB menjawab ; Prinsipnya adalah jangan melanggar hukum dalam keadaan apapun itu. Tetap patuhi norma dan undang-undang yang sudah ada. Pengalaman saya dalam masalah politik, setiap kebijakan-kebijakan itu ada tertib-tertibnya, baik norma, administrasi, standar oprasional, prosedur dan sebagainya. Jika kita tetap berpegang teguh dan melaksanakan sesuai tertibnya tadi, mau difitnah seperti apapun atau ditanyakan seperti apapun ya kita tetap tenang saja. Karena, kita sudah memegang kunci dari hal yang terpenting yaitu kita mengikuti semua alur atau tata tertib yang memang diharuskan.

Kemudian, saya ingin mengajak kita mengingat bahwa 'tidak semua hal sesuai harapan'. Coba pandang kehidupan kita, pernahkah semua hal itu berjalan dengan apa yang kita inginkan? Semisal pulang dari Timur Tengah lalu berdakwah, apakah saat kita berdakwah ini tidak ada godaan? Tentu tidak, pasti banyak tantangan. Begitujuga ketika semisal kita ingin jadi pebisnis, saat pergi ke pasar, apakah semua orang yang kita temui disana orang baik (mengambil jalan rizki dengan halal-thoyyyiba)? Nah disetiap kehidupan itu pasti ada tantangan, sebab sunnaatullah itu selalu menggambarkan ada yang baik, dan ada yang buruk. Begitujuga dengan politik. Lalu politik ini memang lebih disorot banyak pihak, sebab memang bnayak tokoh dan figur-figur yang berkecimpung di dalamnya.

Selanjutnya perlu kita bedakan antara menggadaikan prinsip kita dengan bernegosiasi. Menggadaikan prinsip ini jelas tidak boleh, semisal yang haram dihalalkan. Tapi kalau negosiasi ini penting, dan coba lihat saat perang Hudaibiyah itu Rasulullah saw berpolitik dengan sangat luar biasa. Sampai tindakan politik beliau itu tidak dipahami oleh sebagian sahabat. Dalam srirohnya, sampai Sayyiduna Umar bin Khattab itu berkata;

"Duhai Rasulullah, kita ini kan orang benar (ahlul haq)?"

"Iya, benar. Kita ini ahlul haq", jawab Rasulullah saw

"Lalu kenapa anda mau begini ya Rasulullah? Kenapa engkau hilangkan namamu (hanya menyebut Muhammad tanpa embel-embel rasulullah), bahkan kau bersedia kembali ke Madinah? padahal kita bisa sampai ke Mekah sekarang ini. Kita bisa menaklukaan Mekah duhai rasul, kita tidak perlu takut, kita kuat." Tanya Sayyiduna Umar

Disini Rasulullah saw mengambil tindakan politik yang manfaatnya lebih bisa dirasakan. Dimana Rasulullah disini berunding dengan orang Quraisy, sampai kata 'Rasulullah' sendiri dibuang dan bahkan menuruti apa yang diminta oleh Quraisy. Nah, jadi ini suatu  ilustrasi bahwa negosiasi itu beda sebab untuk kepentingan yang lebih besar di masa yang akan datang. Buktinya (dalam siroh) dalam satu setengah tahun dari Hudaibiyah, (yakni ada 1400 sahabat yang bersama Raslullah saw) ada 10.000 yang bersama nabi Muhammad saw pada satu setengah tahun setelah fathu makkah ini. Apa artinya, Rasulullah saw sangat sukses dalam mengambil keputusan pilitik, dimana mundur saat itu (melalui petunjuk Allah) atau memiliki makna bahwa keinginan tidak tercapai pada saat itu. Bahkan sebagian sahabat menganggap mundur ini adalah suatu kekalahan, padahal tidak. Lihat setelah perjanjian Hudaibiyah,  Rasulullah saw bisa mengirim surat-surat kepada para raja dan para da'i ke berbagai tempat, jua orang-orang berbondong datang ke Madinah. Dan ini lebih berharga, yaitu perdamaian dan meningkatnya orang islam.

Jadi dakwah itu tidak seperti jualan bakso, malam dia olah, pagi dia jual dan siang sudah mendapat untungnya.

 

Sekian,

Jum'at, 26 Juni 2020