By: Imam Abdullah El-Rashied*
Itu
semua bermula sejak kelas 4 SD ungkapku padanya. Saat itu Wali Kelas kami menyuruh
agar semua siswa menuliskan cita-citanya dalam selembar kertas dilengkapi
dengan deskripsi sedetail mungkin. Awalnya aku menuangkan beberapa paragraf
akan masa depanku yang cukup fantastis. Kudongkrak gaya imajinasiku dan coba
tuk menggambarkan masa depan yang cemerlang. Aku tulis dalam harap besarku
kelak aku ingin menjadi seorang Profesor, membuat banyak penemuan termasuk membuat mesin waktu.
Setelah
aku membolak-balikkan kertas yang aku corat-coret, ada sedikit keraguan
menimpaku. Aku rasa sangatlah mustahil jika suatu saat aku akan mampu membuat “Mesin
Waktu,” sebuah mesin untuk menjelajah masa, baik masa yang telah berlalu
maupun masa yang akan datang. “Ini adalah efek kebanyakan nonton film,” tegurku dalam hati.
Waktu
yang diberikan Pak Guru tinggal 30 menit lagi akan berakhir. Deskripsi masa
depanku yang sudah apik aku tuliskan, kata demi kata aku hapus dengan ujung
pensilku. Aku sadar itu terlalu jauh panggang dari pada api. Sejenak aku
merenung lebih dalam, hingga akhirnya Allah memberikan ilham agar aku
menuliskan sesuatu yang bisa ditempuh secara logis.
Kurangkai
kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf hingga akhirnya
rampung sudah satu halaman aku penuhi dengan deskripsi cita-citaku. Aku ingin
menjadi ustadz, ungkapku dalam kertas putih itu. Setelah jadi ustadz aku ingin
menjadi kyai besar, biar manfaat buat umat. Hal ini aku pikir tak lain karena
aku yang sejak bisa memahami kata-kata, Ibuku selalu membawaku ke pengajian.
Membiarkanku bermain atau bahkan tertidur di pangkuannya saat Ibu sibuk mendengarkan
kajian yang disampaikan Kyai di mushalla.
Aku
harap setelah lulus SD bisa menyantren di luar Madura, mengikuti jejak abang-abangku. Namun sayang,
saat itu kondisi ekonomi keluarga tak begitu memungkinkan bila harus
mengeluarkan biaya tiap bulan untuk mengirimku di pesantren. Akupun
mengurungkan niat baik itu, namun setiap hari aku tetap mengaji di masjid
kepada Kyaiku. Tiap maghrib yang mulai gelap dan tiap subuh yang mulai terang,
kuhabiskan waktu selama 1-2 jam untuk mempelajari Al-Qur'an, Fiqih, Dasar
Aqidah Islam dan Ilmu Gramatika Bahasa Arab beserta Tafsir tekstual dari
Kyaiku.
Rasanya
sudah berlangsung 7 tahun aku mengaji pada Kyaiku, sejak aku kelas 3 SD hingga
kelas 3 SMP dan kini tiba saatnya aku izin ke Kyai untuk menempuh pendidikan di
sebuah Pesantren di Kabupaten tetangga. Aku sudah mendaftarkan namaku di pondok
itu, termasuk di Madrasah Aliyah yang ada di dalamnya. “Namaku sudah masuk
dalam daftar santri dan siswa”, ungkap salah satu teman SMPku yang turut
diterima di Pondok yang gratis itu.
Namun
sayang, untuk kedua kalinya aku gagal masuk pesantren. Saat itu aku bersama ibu
dan abangku bersilaturahmi menemui sang Kyai untuk izin ke pesantren, namun
beliau menolak dan menyarankan agar jangan menyantren di pondok tersebut. “Kamu sekolah SMA saja dan tetap ngaji sama saya.” Begitu ungkap Kyaiku.
Aku
taati itu, hingga setelah lulus SMA keinginan mondokku sudah sirna. Aku
mendaftarkan diri untuk masuk ke salah satu Universitas terkenal di Surabaya,
ITS. Selama menunggu pengumuman aku berangkat ke al-Bahjah, Cirebon, guna mengisi waktu luang.
Sebulan
berlalu, namun namaku tak kunjung muncul. Hendak pulang sayang, sudah terlanjur
betah di al-Bahjah. Akhirnya aku mantapkan untuk menuntut ilmu agama yang sudah lama kandas dalam jiwaku.
Kyaiku pun merestui itu. Setahun berlalu Kyaiku yang pertama wafat, aku sangat
terpukul akan kepergiannya. Namun amat sayang aku tak bisa mengantar jenazahnya
karena posisiku jauh di luar pulau.
Empat
tahun aku lalui di al-Bahjah, aku sering curhat pada teman dekatku bahwa aku ingin
belajar ke Timur-Tengah. Abangku marah mendengarnya. “Tak usah berkhayal terlalu
jauh, belajar di sini juga sudah cukup kalau kamu serius,” tungkasnya saat
menasehatiku.
Namun
semua itu berubah saat Abang memanggilku dan mengabarkan bahwasannya Kyai
baruku ini meminta kepadanya agar diriku belajar ke Univ. al-Ahgaff, Yaman. Aku
mencoba untuk mempersiapkan diri, namun Allah berkehendak lain. Entah kenapa
aku tak jadi mengikuti tes seleksi saat itu hingga akhirnya aku gagal.
Setahun
berlalu, Kyaiku menawarkan agar aku kuliah di Imam Shafie College di Mukalla,
Yaman. Aku sampaikan kabar gembira ini pada Abang, Ibu dan Ayahku. Mereka semua
setuju. Allah telah mempersiapkan sesuatu yang lebih indah. Aku berangkat
dengan beasiswa penuh ke Yaman dari pesantrenku, sedangkan aku sering mendengar
dari teman-temanku di Yaman bahwasannya banyak di antara mereka orang tuanya
harus menjual sawah, sapi dan emas sebagai biaya meskipun mendapatkan beasiswa
pendidikan.
Aku
sempat gagal nyantren dua kali, aku juga sempat gagal kuliah dua kali. Namun bagiku
kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Bahkan dalam sebuah kegagalan aku
menemukan banyak hal yang menakjubkan. Setidaknya setahun terakhir di Cirebon
aku mengabdi penuh di pesantren menjadi Humas Lembaga Dakwah.
Hampir
tiap bulan aku harus ke luar kota, bahkan terkadang harus ke luar negeri guna menemani guruku berdakwah. Selama di Cirebon pula aku
berkecimpung dalam dunia Multimedia dan Jurnalis. Sekitar setahun aku menjadi Operator Radio Dakwah,
kemudian menjadi seorang Cameraman dan Editor Video serta masuk dalam Tim
Pustaka.
Sejumlah
pengalaman yang sangat berharga yang aku banyangkan tak akan didapatkan di kuliahan. Penuh syukur kuucapkan pada-Mu, Tuhan. Selesai aku berorasi via telepon bersamanya, ia bertanya: “Lantas, apa rahasiamu menggapai mimpimu?” “Tulus berniat, usaha yang giat, tekad yang kuat dan do'a yang selalu terpanjat,” ungkapku.
Kini dia
mulai bertekad untuk mengukir mimpi-mimpinya, akupun senang.
***
_______________
*Biodata
Penulis:
Nama :
Imam Abdullah El-Rashied
TTL :
Sampang, 12 Juni 1993
Pendidikan : TK – SMA (1997-2010) Di Sampang, Madura
Pesantren : Al-Bahjah Cirebon (2010-2014)
Kuliah :
Imam Shafie College, Mukalla – Yaman
No. HP :
+967 771 439 421
Email :
imammahdiyaman@gmail.com
Alamat :Kampus
Utama Ribath Wa Kulliyah Imam
Syafi'i, Distrik Syafi'i – Fuwah – Mukalla,
Yaman.
Syafi'i, Distrik Syafi'i – Fuwah – Mukalla,
Yaman.
1 Komentar
mungkin tulisan ini menjadi pelipur laraku bahwasanya, aku pun merasakan pahit yang sama saat ini di tahun 2017 akhi,, aku pun punya mimpi belajar ke timur tengah, ku coba untuk ikut seleksi dan alhamdulillah saya lolos seleksi tersebut,, mungkin Allah berkehendak lain, pemberangkatan sudah hampir sayangnya berkas dan utamanya biaya tidak ada sama sekali,,dan sejujurnya kita sering berkomunikasi via whaatsapp kang,,
BalasHapus