Mata kecil itu masih meneteskan airmata. Dari jauh kulihat ia menelungkup sendirian di pojok asrama. Siluet cahaya rembulan membuat sosoknya terlihat lebih jelas, tergugu dikeremangan malam. Pelan-pelan aku mulai menghampirinya
“Iyas . . . kenapa menangis ?” tanyaku sambil menepuk pundak kecil Iyas. Iyas berbalik dan kaget mendapati diriku yang muncul tiba-tiba. Dengan cepat tangan kecilnya menghapus sisa airmata yang masih mengalir mambasahi pipinya. Ia tak menghiraukan hadirku. Ia malah diam dan berbalik membelakangiku“Iyas . . kak Maula kan cuma bertanya? Kenapa Iyas menangis? Kalau Iyas punya masalah, Iyas bisa cerita sama kak Maula. Insyaallah jika kak Maula mampu, kak Maula pasti membantu Iyas.” Aku mencoba berbicara pelan. Iyas masih tetap pada pendiriannya. Terdiam. Sesekali suara ingusnya terdengar membuat pundaknya bergetar.
“Iyas . . .” aku memanggilnya lagi
“Iyas sedih kak, Iyas tidak bisa masuk
surga.” Suara kanak-kanaknya terdengar serak. Aku kaget dengan perkataan Iyas.
“Maksud Iyas ? semua orang bisa masuk surga
termasuk Iyas.”
“Tapi surga ada ditelapak kaki ibu kak.”
Aku semakin bingung dengan jawaban Iyas. Aku mencoba mencerna kata-kata Iyas.
Belum sempat aku memahami, Iyas kembali menyahut
“Sedangkan Iyas, Iyas tidak memiliki
ibu kak. Dari kecil Iyas tak pernah tahu siapa ibu Iyas. Surga hanya ada buat
mereka yang memiliki ibu kak. Iyas tak akan bisa masuk surga.” Iyas kembali
menangis. Tangisnya semakin deras. Ia masih membelakangiku. Pelan-pelan aku
membalikkan badannya.
“Siapa bilang Iyas tidak memiliki ibu?
Bunda Rahma kan
ibunya Iyas, juga ibunya kak Maula.” Jawabku sambil menggenggam kedua lengan
Iyas.
“Tapi bunda Rahma bukan ibu kandung
Iyas kak. Kak Maula tahu itu kan?
Surga hanya ada di telapak kaki ibu yang melahirkan anaknya. Dari Iyas kecil
hingga Iyas berusia sebelas tahun Iyas tak pernah tahu siapa ibu kandung Iyas.Iyas
rindu kak!” Iyas berteriak dan berontak dari genggamanku. Dadanya naik turun
seiring dengan deru tangisnya. Aku memeluk tubuh kecil Iyas. Kusandarkan
kepalanya di dadaku
“Iyas…” aku mengelus kepala Iyas.
Pundaknya masih bergetar menahan isak tangis yang sesekali masih ia tahan.
“Iyas tahu tidak? Tuhan itu maha rahman
dan maha rahim. Tuhan menciptakan surga tidak hanya dengan satu jalan. Banyak
jalan untuk bisa mendapatkan surga. Kalau Iyas rajin sholat, rajin puasa dan
rajin berbuat kebaikan, Iyas pasti bisa masuk surga.” Aku menarik bahu Iyas dan
menatap matanya dalam-dalam. Kuhapus sisa airmata yang masih mengalir di pipinya.
Aku memangku Iyas dan merangkulnya erat.
“Surga memang ada di telapak kaki ibu,
tapi bukan berarti itu jalan satu-satunya. Kak Maula dari kecil juga tidak
pernah tahu siapa ibu kandung kak Maula. Masa kak Maula tidak bisa masuk surga
gara-gara tidak memiliki ibu? Kalau begitu tuhan tidak adil dong? Banyak juga kan yang memiliki ibu
tapi durhaka? Masa orang durhaka bisa masuk surga?” pelan-pelan aku menenangkan
hati Iyas. Jilbab putihku berkibar diterpa angin malam. Kupererat pelukanku ke
tubuh mungil Iyas. Berharap ia merasa tentram berada di sisiku.
“Andai ibu dan ayah Iyas ada disini
pasti mereka sayang dan bangga memiliki anak seperti Iyas yang selalu ingin
berbakti pada orang
tuanya.”
“jika
ibu dan ayah Iyas sayang pada Iyas, kenapa mereka tega meninggalkan Iyas sendirian
di panti ini?” Iyas mendongak ke arahku, memotong perkataanku. Aku terdiam
bingung. Tak tahu harus menjawab apa.
“Kenapa
kak Maula diam? Kenapa kak? Kenapa ibu dan ayah Iyas meninggalkan Iyas? Padahal
Iyas ingin bersama mereka?”
“mmm,
mungkin . .mmm”
“Maula...Iyas...
ayo masuk ke dalam, nak! Angin malam tidak baik untuk kesehatan.” Bunda Rahma
pemilik panti berteriak dari depan kamar.
“Iya
bunda sebentar!” jawabku sambil berteriak
“Iyas,
ayo masuk ke dalam!” kataku sambil berdiri tapi tanganku segera ditarik oleh
Iyas.
“Tapi kak, kak Maula belum menjawab
pertanyaan Iyas. Sebentar saja kak!” Iyas menatap mukaku
“Insyaallah
besok kak Maula jawab. Sekarang masuk dulu yuk, nanti di marahi sama bunda!”
aku menarik tangan Iyas dan menggandengnya menuju kamar. Ku lirik gurat-gurat
kekecewaan tergambar di wajah Iyas. Ia tentu kecewa dengan sikapku. Tapi aku
sendiri bingung harus menjawab apa. Padahal tanpa disadari seorangpun, hatiku
juga merasakan perih yang sama seperti yang dirasakan Iyas. Aku juga merindukan
kasih sayang seorang ibu yang selama ini selalu aku damba. Akupun tak tahu
siapa ayah dan ibu kandungku. Tapi aku harus bisa melawan rasa itu. Aku harus
bisa ikhlas menerima takdir tuhan yang telah tergariskan atasku. Aku juga harus
bisa menentramkan hati adik-adik kecilku di panti ini, yang juga merasakan
pedih yang sama sepertiku. Kehilangan ayah dan ibu.
# # # #
Kulihat Iyas telah lelap disampingku.
Aku beranjak dari tidurku berganti duduk bersandar pada dinding kamar. Aku
masih terngiang dengan dengan pertanyaan Iyas barusan. Rasa keingintahuan
seorang anak kecil memang sangat besar, karena pada dasarnya masa kanak-kanak
adalah masa ingin tahu tentang sesuatu. Jika ia tidak mendapat jawaban, ia
pasti akan terus mencarinya hingga ia menemukan jawaban itu.
“Hhhh…” Aku mendesah pelan. Kupandangi
langit-langit kamar yang tak berplafon.entah sejak kapan bunda Rahma membangun
panti ini. Hampir 18 tahun aku disini. Dari kecil bunda Rahma yang merawatku
kala aku tak mempunyai orang tua yang seharusnya mengasuhku. Bunda Rahma orang
yang sungguh mulia. Tak pernah beliau pilih-pilih kasih terhadap anak-anak
panti yang berjumlah hampir lima
puluhan padahal bunda Rahma sendiri mempunyai anak. Oleh bunda kami semua di
sekolahkan di sekolahan desa. Bunda Rahma selalu menanamkan rasa kasih sayang pada diri kami. Bunda berharap jika
kami sudah besar nanti, kami mampu manyayangi dan menolong sesama.
# # # #
Bunda
Rahma sedang menata kitab seusai pengajian malam panti ketika Iyas memeluknya
dari belakang.
“Bunda...”
Iyas menggelayut manja.
“Ada
apa Iyas?” Bunda Rahma menoleh sambil menggenggam kedua tangan Iyas yang
melingkar di leher bunda.
“Iyas
sayang bunda karena Allah.” Iyas membisiki telinga bunda Rahma. Bunda Rahma terperanjat. Ia segera menoleh
pada Iyas. Mata bunda berkaca-kaca. Dengan penuh sayang bunda Rahma mencium
pipi Iyas dan menarik tubuh Iyas ke pangkuannya.
“Bunda
juga sayang Iyas karena Allah.” Bisik bunda sambil mencium ubun-ubun Iyas.
“Bunda...”
Iyas kembali bersuara.
“Iya,
sayang?”
“Bunda
mau tidak menjadi cahaya bagi Iyas seperti cahaya rembulan itu.” Kata Iyas
sambil menunjuk ke arah rembulan yang bersinar terang.
“Maksud
Iyas?”
“Bunda...
bunda tahu kan kalau diatas sinar rembulan ada sinar matahari yang
menyinarinya?
“hmmm,
bunda mengerti. Cahaya rembulan kan berasal dari pantulan cahaya matahari.”
Bunda Rahma manggut-manggut.
“Iyas
ingin bunda menjadi cahaya bagi Iyas yang bisa mengantarkan Iyas menuju cahaya
diatas cahaya bunda. Seperti cahaya matahari di atas cahaya rembulan.”
“Bunda
tidak mengerti maksud Iyas?” kening bunda Rahma mengernyit.
“Bunda...
Iyas pengen bunda menjadi cahaya bagi Iyas yang mampu mengantarkan Iyas menuju
cahaya di atas cahaya bunda yaitu cahayanya Allah. Bukankah ridlonya Allah
tergantung ridlonya orang tua. Itu berarti Allah adalah cahaya di atas cahaya.
Dan Iyas tidak akan pernah bisa meraih cahaya Allah jika Iyas tidak memiliki
cahaya orang tua. Iyas kan tidak punya orang tua, makanya bunda mau kan menjadi
orang tua Iyas? Biar Iyas bisa meraih cahaya di atas cahaya itu.” airmata bunda Rahma meleleh. Hatinya
begitu tersentuh dengan penuturan Iyas. Ia tak pernah menyangka anak sekecil
Iyas mampu berfikir sejauh itu. Bunda Rahma semakin mempererat pelukannya.
“Tentu
saja Iyas, bunda pasti mau menjadi orang tua bagi Iyas. Menjadi cahaya sebagai
pengantar Iyas menuju cahaya di atas cahaya yang diinginkan Iyas.” Suara bunda
Rahma serak. Bunda Rahma terisak. Ia tidak tega melihat anak-anak seperti Iyas
yang sangat mendambakan kehadiran orang tua mereka. Ia tahu kalau sebenarnya Iyas
sangat merindukan bunda dan ayah kandungnya.
“Bunda kenapa menangis?” Iyas mendongak
ke arah bunda Rahma.
“Nggak kok Iyas, bunda hanya terharu
dengan ucapan Iyas. Bunda janji akan menjadi cahaya terindah bagi Iyas.” Iyas
tersenyum. Matanya berbinar terang seterang cahaya rembulan yang menerangi
malam kala itu.
# # # #
“Yazid, Amar, lihat Iyas tidak?”
tanyaku pada Yazid dan Amar yang lagi asyik bermain kelereng.
“Nggak tahu kak, coba kak Maula cari di
depan asrama dekat kolam. Biasanya Iyas di sana!” jawab Yazid. Aku segera menyusuri
koridor asrama menuju tempat yang dimaksud Yazid. Dan benar. Disana Iyas sedang
asyik member makan ikan-ikan di kolam.
“Iyas..”
“Eh, kak Maula ngagetin Iyas aja! Ada apa kak?” Iyas
menoleh ke arahku.
“Iyas.. kok masih suka menyendiri sih?
Padahal baru tadi malam bunda Rahma mengadakan acara syukuran buat ulang tahun
Iyas yang ke 18 dan juga dek Fadhil. Bunda Rahma kan berpesan pada Iyas untuk bersikap dewasa
dan tak boleh suka menyendiri lagi! Kalau Iyas punya masalah. Kapanpun kak
Maula selalu siap untuk membantu Iyas semampu kak Maula.” Iyas terseyum melihat
kekhawatiranku.
“Iyas tidak apa-apa kok kak. Iyas Cuma
kadang sering merasa aneh sendiri pada diri Iyas. Kenapa Iyas masih cengeng ya
kak? Padahal Iyas laki-laki dan telah menginjak usia dewasa.” Iyas mengajakku
duduk di tepi kolam.
“Iyas, semua manusia pasti merasakan
kesedihan. Dan menangis itu wajar. Itu fitrah seorang manusia. Tapi, manusia
tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Allah tidak suka pada hamba-Nya yang
berlarut-larut dalam kesedihan.” Aku mencoba memberi pengertian pada Iyas.
“Memangnya Iyas mikirin apa? Kok
kelihatannya sedih?” tanyaku.
“Iyas masih sering teringat bunda dan
ayah kandung Iyas. Kenapa Iyas masih merasa kalau mereka itu ada kak? Iyas
sering iri melihat teman-teman Iyas bermanja-manja pada orang tua mereka.
Kenapa Iyas tak bisa merasakannya? Iyas rindu dengan ayah dan bunda kandung
Iyas.” Mata Iyas menitikkan airmata tapi dengan cepat di hapus oleh punggung
tangannya. Aku kembali tersentak untuk kesekian kalinya. Aku selalu bingung
jika dihadapkan pada posisi seperti ini. Akankah aku mengatakan yang
sebenarnya? Sebenarnya aku tahu kalau Iyas masih memiliki ibu kandung.
Ingatanku kembali pada 17 tahun silam. Kala usiaku menginjak 7 tahun. Seorang
ibu seusia bunda Rahma menitipkan bayinya yang tak lain adalah Iyas kepada
bunda Rahma. Ku ingat bunda Rahma sempat menolak Iyas karena Iyas masih
membutuhkan perhatian ibu kandungnya. Tapi entahlah aku tak begitu mengerti
waktu itu. Semuanya tiba-tiba telah terjadi seperti sekarang.
“Kak..” aku tersentak dari
bayang-bayang masa laluku dan masa lalu Iyas.
“I..iya Iyas?”
“Kak… Iyas butuh bantuan kak Maula. Kak
Maula bisa membantu Iyas kan?”
“A..apa yang bisa kakak bantu Yas?” aku
semakin kaku dengan keadaan seperti ini. Kulihat Iyas begitu ingin aku bisa
melakukan apa yang ia minta. Pandangan matanya bercampur antara kerinduan, kesedihan
dan harapan agar aku bisa membantunya.
“Kak, Iyas mohon kakak berkenan
mencarikan data diri Iyas. Kak Maula kan
lebih dekat dengan bunda. Iyas tak kuat kak jika terus di bayang-bayangi bunda
dan ayah kandung Iyas. Iyas tidak kuat jika harus bertahan dalam keadaan
seperti ini. Bukan Iyas tidak ikhlas dengan takdir tuhan atas diri Iyas kak.
Iyas hanya ingin memastikan prasangka Iyas agar Iyas tak lagi dihantui rasa
rindu ini kak. Kak Maula tentu tahu betapa sakitnya terpisah dengan orang tua
kandung. Kak Maula sendiri juga merasakannya kan? Iya kan? Itulah yang sekarang dirasakan Iyas
kak. Sakit rasanya.” Iyas tak kuat menahan airmatanya. Tangisnya pecah. Ia
merasa terombang ambing dengan kenyataan ini. Kupeluk erat tubuh Iyas. Aku
tergugu dalam pelukan Iyas. Tangisku tak dapat ku tahan. Aku mengerti apa yang
dirasakan Iyas. Rasa yang setiap malam selalu menghampiri mimpi-mimpiku. Sebuah
kerinduan yang besar akan hadirnya seseorang yang telah mengalirkan darahnya
pada diriku.
“Insyaallah Yas, kakak akan membantu
Iyas.” Mataku dan mata Iyas beradu. Sama mengucurkan airmata kerinduan. Kita
sama-sama merasakan gelegak kerinduan itu.
“Oh ibu, apakah engkau tak merasakan
getar kerinduan anakmu?” Bisikku perih di dalam hati.
# # # #
Iyas telah sampai di depan rumah persis
seperti alamat yang aku berikan. Tentunya tanpa sepengetahuan bunda Rahma. Iyas
terus menunggu di depan pagar menanti sang empu rumah keluar. Tak berapa lama
dari balik pintu muncul seorang perempuan paruh baya seusia bunda Rahma. Hati
Iyas bergetar. Apakah sosok di depannya memang ibu kandungnya yang selama ini
begitu ia rindu kehadirannya.
“Cari siapa mas?” Perempuan itu
bertanya pada Iyas.
“Bunn…da..?” Iyas mendesis lirih dan
terbata. Perempuan itu terperanjat. Tubuhnya sedikit limbung seakan slide-slide
memory menghampiri alam sadarnya. Matanya berkaca-kaca.
“Bunda..ini Iyas bunda. Bunda mengenali
Iyas kan?” Iyas mendekati perempuan itu. Tubuh perempuan itu semakin bergetar.
Entah, apa yang ia rasakan. Apakah benar ia ibu kandung Iyas? Iyas semakin
mendekat kea rah perempuan itu.
“Tidaakk…kamu bukan anakku. Aku tak
mengenalmu.kamu salah. Pergi…pergi.” Perempuan itu terisak dan berlari ke dalam
rumah.
“Bunda… Iyas yakin kamu bunda kandung
Iyas. Iyas sangat merindukan bunda. Bundaaa” Iyas menggedor pintu rumah.
Airmatanya berderai.
“Bundaa, Iyas sangat ingin bersama
bunda. Apa salah Iyas hingga bunda meninggalkan Iyas?” bundaa, buka pintunya
bunda!” Iyas terisak di depan pintu.
“Bundaaaa…”
# # # #
“Maafkan Maula bunda, Maula tidak tega
melihat Iyas selalu menangis. Iyas rindu pada ibu kandungnya.” Aku memeluk
bunda.
“Sudahlah Maula, nasi telah menjadi
bubur. Bunda hanya takut Iyas semakin depresi dengan kejadian ini. Ibunya
memang tak mengharapkan hadirnya.” Mata bunda Rahma berkaca-kaca. Aku menunduk.
Aku semakin merasa bersalah.
“Kau hiburlah Iyas! Jangan sampai ia
melakukan hal-hal yang bisa membahayakan jiwanya. Syetan selalu membisiki
hati-hati yang kosong.” Bunda Rahma berbalik dari hadapanku menghadap jendela.
Tangis bunda Rahma semakin deras.
# # # #
Semakin hari, Iyas semakin menjauh dari
keramaian. Sering kulihat ia menangis sendirian seakan tak terima dengan kenyataan
ini. Beberapa kali aku mencoba menghiburnya tapi tak menunjukkan respon positif
hingga suatu hari kulihat bunda Rahma berlari tergopoh-gopoh kebingungan dan
menghampiriku.
“Maula, cepat panggil Iyas! Kita ke
rumah sakit sekarang!” aku kaget dengan ucapan bunda. Pikiranku mulai
menerka-nerka.
“Ada apa bunda?” tanyaku dengan
kebingungan.
“Ibunya Iyas masuk rumah sakit. Cepat
panggil Iyas!” teriak bunda Rahma cemas.
# # # #
“Setelah kami diagnosa, ibu Afifa
mengalami depresi berat hingga membuat penyakit gagal ginjalnya kambuh. Keadaan
beliau sekarang sangat kritis. Penyakit gagal ginjalnya telah memasuki stadium
akhir. Dan itu sangat berbahaya. Kami tak bisa melakukan apa-apa kecuali
menunggu donor ginjal yang bersedia mendonorkan ginjalnya untuk ibu Afifa. Kami
juga tidak bisa menentukan sampai kapan ibu Afifa bisa bertahan.” Bunda Rahma
menjerit mendengar penjelasan dokter. Telapak tangannya menutupi mulutnya. Aku
tertunduk. Kedua sudut mataku berair. Aku tahu ini semua salahku. Akulah yang
mengakibatkan ini semua terjadi. Sejenak kami semua terdiam. Hening. Bingung
dengan keadaan.
“Saya bersedia dok, saya bersedia
mendonorkan ginjal saya untuk bunda Afifa.”
Tiba-tiba Iyas menyahut membuat kami semua terperanjat.
“Iyas…” Bunda Rahma menoleh kepada
Iyas. Raut mukanya kaget dan cemas.
“Izinkan Iyas bunda! Iyas ingin
menyelamatkan jiwa ibu kandung Iyas. Iyas ingin mengabdikan diri Iyas untuk bunda
kandung Iyas. Tolong jangan halangi niat Iyas bunda!” bunda Rahma terisak. Aku
segera memeluk bunda. Hati bunda tentu galau. Bunda pasti takut terjadi apa-apa
dengan Iyas, salah satu dari anak-anak yang dibesarkannya.
“Baiklah, mari saudara ikut saya untuk
cek darah. Semoga golongan darah saudara sama dengan ibu Afifa. Mari!” ucap
dokter sambil berjalan menuju laboratorium. Iyas menatap bunda. Tangisnya
pecah. Iyas merangkul bunda Rahma. Aku tak sanggup membayangkan Iyas akan
mengorbankan ginjalnya demi ibu kandungnya. Sosok ibu yang selama ini ia damba.
Aku dan bunda Rahma mengiringi kepergian Iyas dengan pandangan sendu hingga
tubuh Iyas hilang di balik dinding ruangan.
# # # #
Operasi bedah ginjal yang dijalani Iyas
dan ibunya berjalan cukup lama. Hampir 8 jam aku dan bunda Rahma menunggu.
Kulihat bunda Rahma tak henti-hentinya mendesis memanjatkan doa. Sesekali masih
terdengar isak tangisnya. Aku masih dirundung rasa bersalah yang amat sangat.
Kenapa semuanya ini harus terjadi.
“Bunda, maafkan Maula bunda. Andai
Maula tidak memberitahu Iyas, pasti semua ini tak akan pernah terjadi. Maula
merasa sangat bersalah bunda. Maula takut jika terjadi apa-apa dengan Iyas dan
ibunya.” Tangisku ambrol. Aku memeluk bunda Rahma.
“Sudahlah Maula, tidak baik terus
menerus menyesal. Sekarang kita hanya bisa berdoa. Menyandarkan semuanya di
sisi Allah. Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk Iyas dan ibunya.” Bunda
Rahma menghiburku dengan suara serak. Tubuhku semakin dipeluknya erat. Setetes
airmata menetes membasahi ubun-ubunku. Aku semakin tergugu dipelukan bunda.
Tiba-tiba dokter yang menangani Iyas keluar dari ruang bedah. Serentak aku dan
bunda berdiri.
“Bagaimana dok?” Tanya bunda Rahma
cemas. Hatiku ketar-ketir.
“Sejauh ini pendonoran ginjal ke tubuh
ibu Afifa berjalan lancar. Kita hanya bisa menunggu sampai ibu Afifa tersadar.
Semoga tidak ada penolakan dari tubuhnya dengan ginjal yang di donorkan saudara
Iyas.
“Lalu, kondisi Iyas bagaimana dok? Dia
baik-baik saja kan?” bunda Rahma semakin cemas.
“Itu yang kami sesalkan, bu.” Jawaban
dokter membuat bunda Rahma dan aku shock. kurasakan tubuh bunda Rahma bergetar
hebat. Airmataku kembali mengucur.
“M..maksud dokter?” Bunda Rahma
terbata-bata.
“Kami tak menyangka kemungkinan
terburuk itu terjadi. Secara tes medis saudara Iyas memenuhi kriteria pendonor
ginjal. Tapi di tengah-tengah operasi pembedahan, kondisi tubuh saudara Iyas
drop. Daya tahannya tiba-tiba menurun hingga memicu pendarahan yang keluar
semakin banyak. Kami telah menangani sekuat kami. Untuk saat ini kami tak bisa
memastikan kondisi Iyas. Sekarang ia tak sadarkan diri. Ibu dan adik teruslah
berdoa semoga ada mukjizat yng membuat kesehatan Iyas kembali pulih.”
Keterangan dokter terdengar seakan halilintar yang menyambar aku dan bunda
Rahma. Bunda Rahma menjerit. Bibirnya bergetar menyebut nama Iyas. Aku semakin
tergugu dalam tangisku bercampur rasa bersalahku.
“Iyaaaasss… I..yaaasss” tubuh bunda
Rahma limbung. Tiba-tiba bunda Rahma pingsan.
# # # #
Aku dan bunda Rahma masih tetap
menunggui Iyas. Iyas masih tak
sadarkan diri. Kondisinya masih kritis, sedangkan ibunya telah melewti
masa-masa kritisnya. Sampai saat ini ibu Afifa tidak pernah tahu siapa yang
mendonorkan ginjal untuknya. Pun ibu Afifa tidak tahu kalau Iyas dirawat di
rumah sakit tempat ia juga dirawat.
“Bun...daaa....bunda...”
aku dan bunda Rahma kaget dan serentak menoleh.
“Iyas...” bunda Rahma segera berlari menuju Iyas
disusul aku.
“Bund..daa.....Bundaaa..”
Iyas mengigau di bawah alam sadarnya,
“Iya
sayang, ini bunda. Bunda ada disamping Iyas.” Bunda Rahma terisak. Ia membelai
kepala Iyas. Aku menggenggam erat telapak tangan Iyas.
“Bunndaaa...
Iyas rindu dengan bundaaa...” tangis bunda Rahma semakin deras. Bunda Rahma
tahu siapa yang
dimaksud Iyas di bawah alam sadarnya. Hatiku tersentak. Getir. Airmataku tak
berhenti menetes. Iyas sangat merindukan ibunya. Aku berlari keluar dengan
tersedu-sedu. Hatiku tak kuat melihat betapa tersiksanya Iyas dengan perasaan
rindu yang bertahun-tahun dipendamnya. Iyas tentu sangat tersiksa dengan
perasaan yang setiap hari selalu muncul membuat tangisnya terpancing keluar.
Diam-diam tanpa sepengetahuan bunda Rahma aku berlari menuju kamar tempat bunda
Afifa, ibu kandung Iyas
dirawat. Aku tidak tega melihat Iyas tersiksa seperti ini. Kenapa ibunya begitu
tega meyiksa Iyas dengan perasaan yang maha dahsyat seperti ini? Aku membuka
pintu kamar.
“Siapa kamu?” bunda Afifa bertanya
padaku. Suaranya masih lemah.
“Ibu…” mataku masih sembab. Sesekali
aku menghapus airmataku yang kadang masih menetes. Bunda Afifa heran melihat
tingkahku.
“Bu, kenapa ibu tega menyiksa Iyas.
Iyas sangat merindukan kehadiran ibu. Bertahun-tahun Iyas menangisi ibu.”
Airmataku tak mampu kutahan. Bayang-bayang Iyas yang tergeletak lemah di
ranjang muncul dalam fikiranku. Kulihat bunda Afifa memalingkan mukanya.
“Bu, tolong! Aku mohon kasihanilah
Iyas! Ibu boleh membenci Iyas, tapi lihatlah Iyas sekarang! Iyas membutuhkan
kehadiran ibu.”
“Aku tak pernah membencinya.” Airmata
mulai membasahi pipi bunda Afifa.
“Lantas, kenapa ibu tega menyiksa
perasaan Iyas seperti itu? Dia sangat merindukan ibu. Ia sering menyendiri
hanya untuk menghayalkan ibu kandungnya. Lihat dia sekarang bu!” Aku menarik
tangan bunda Afifa.
“Aku tak ingin teringat dengan almarhum
suamiku, ayah Iyas. Aku terlalu mencintainya. A..ku … aku tak mau mengingat
sosoknyanya. hatiku selalu sedih jika mengingat suamiku. Ia meninggal saat aku
mengandung Iyas. Kamu tak tahu perasaanku” Bunda Afifa menatapku. Airmatanya
terus mengalir.
“Tegakah ibu mengorbankan Iyas, darah
daging ibu hanya karena perasaan itu? Apakah ibu tidak merasa bersalah? Apakah
ibu pernah membayangkan terpisah dengan orang tua kandung ibu? Aku pernah
merasakannya bu, bahkan sampai sekarang. Sakit rasanya. Itulah yang sellau
mendera hati Iyas. Aku yang selalu bersamanya. Aku yang mengerti betapa ia
tersiksa dengan perasaannya. Ia sangat rindu dengan ibu.” Aku benci dengan alas
an yang dilontarkan bunda Afifa. Kenapa harus ada ibu yang begitu egois dengan
perasaannya?
“Jangan kau robek masa laluku. Kamu tak
tahu perasaanku. Aku bisa gila jika teringat suamiku.” Bunda Afifa menjawab
sengit.
“Tak tahu perasaan ibu? Memangnya ibu
tahu perasaan Iyas? Seharusnya ibu yang bisa memahami perasaan Iyas. Iyas yang
bisa gila jika memikirkan ibu terus menerus. Ia darah daging ibu, darah ibu
mengalir ditubuhnya. Tak pernah sedikitpun aku menyangka ada ibu semacam anda.
Dimana naluri kasih sayang ibu?” tangisku semakin deras.
“Sudah…cukup!! Jangan kau campuri
urusanku! Kamu tak tahu apa-apa.” Bunda Afifa berteriak. Ia menuding mukaku
kasar. Aku menggeleng-geleng shock. Tak kusangka hati bunda Afifa sekeras batu.
“Kalau saja ibu tahu, ibu sangat beruntung
memiliki malaikat sebaik Iyas. Andai
saja tak ada Iyas, nasib ibu belum tentu selamat. Sayang jika Iyas harus
kehilangan hidupnya hanya demi perempuan yang begitu dirindukannya tapi tak
pernah merasa.” Aku memojokkan bunda Afifa. Aku menatapnya sinis. Bunda Afifa
tersentak.
“Apa maksud kamu?” bunda Afifa
kebingungan.
“Ibu tahu siapa yang mendonorkan
ginjalnya demi keselamatan ibu?” aku bergetar. Tangis dan emosiku semakin
memuncak.
“Tahukah bu? Siapa yang telah berkorban
untuk ibu? Siapa bu? Ibu tidak tahu kan?” emosiku semakin tidak terkontrol.
Mulut bunda Afifa menganga tertutupi oleh oleh tangan kanannya. Nafasnya serasa
berhenti. Bunda Afifa tak mampu berkata apa-apa.
“Iyaslah orangnya. Iyas rela
menorbankan ginjalnya demi ibu. Iyas rela mengorbankan nyawanya demi
keselamatan ibu hingga kini tergeletak tak berdaya karena pendarahan yang tak
kunjung berhenti. Hanya karena siapa bu? Hanya karena siapa? Iyaslah yang
berkorban itu semua. Iyas yang selalu merindukan ibu. Iyas yang selalu berdoa
untuk ibu. Iyas yang selalu mengharapkan kehadiran ibu. Iyaslah orangnya, bu.”
Aku semakin tergugu. Nafasku tak beraturan menuntaskan semua emosiku yang
memuncak. Aku menyudutkan bunda Afifa yang tak berhati itu.
“A…a..pa? Iy…Iyaas…?” tangis bunda
Afifa pecah. Hatinya bergetar. Sedikitpun ia tak menyangka, anak yang dulu
dibuangnya kini justru menyelamatkan jiwanya. Bunda Afifa menutupi wajahnya
dengan telapak tangannya. Tangis penyesalannya terdengar pilu.
“Iyas anakku…” bunda Afifa menjerit
pedih.
# # # #
“Bunda...bunda…..Iyas rindu
bunda…bunda…” kesadaran Iyas masih belum kembali. Matanya masih terpejam.
“Iyaass, buka matamu, nak. Ini bunda.
Bunda yang selama ini Iyas rindukan.” Bunda Afifa menggigit bibirnya menahan
tangis. Dengan penuh kasih sayang ia membelai kepala Iyas. Aku dan bunda Rahma
terisak disamping kiri Iyas. Kulihat dilayar monitor detak jantungnya berdetak
lemah. Bibir Iyas pucat bagaikan mayat. Aku tak tega melihat Iyas.
“Iyas…buka matamu, nak! Bunda rindu
dengan Iyas. Maafkan bunda Iyas. Bunda janji akan selalu berada di sisi Iyas.
Buka matamu nak!” tangis bunda Afifa semakin menderas. Tetes airmatanya jatuh mengalir
di kening Iyas. Tangan kanannya mengenggam erat tangan Iyas. Tiba-tiba jemari
Iyas bergerak. Matanya mengerjap-ngerjap.
“Alhamdulillah ya Allah.” Aku dan bunda
Rahma serempak menjerit.
“I…Iyas…me..rasakan…rinnddu itu begitu
de..kaatt..”Iyas bersuara lemah dan terbata.
“Ini bunda nak…ini bunda kandung Iyas.
Bunda yang selalu dirindukan Iyas. Lihat Iyas!” Bunda Afifa semakin erat
menggenggam tangan Iyas. Matanya terus mengucurkan airmata.
“Bunn..daa…I..iiyyaass rindu bundaaa…”
Iyas memandang bunda Afifa. Tangan kirinya menggapai wajah bunda Afifa seakan
memastikan bahwa ini semua nyata.
“Iya Iyas..bunda juga rindu dengan
Iyas. Maafkan bunda selama ini yang tak pernah mau mengasuh Iyas. Iyas janji
cepat sembuh ya? Bunda ingin bisa hidup disisi Iyas. Iyas juga menginginkan hal
itu kan?” Iyas mengangguk lemah. Kedua sudut matanya mulai berair. Tangan
kirinya menghapus airmata yang mengalir dipipi bunda Afifa. Aku tak kuat
melihat Iyas dan bunda Afifa. Bunda Rahma masih terisak.
“Bunndaa, maukaah..bun..da memel..luuk
Iyas? I..yas ingin merasa..kan pelukan hangat bunnda..aa yang tak pernah Iyas
rasakan. Selagi Iyas sekarang memi..liki kesem..patan itu.” Air muka Iyas
pucat. Aku mulai berprasangka yang tidak-tidak. Bunda Afifa langsung mendekap
putranya dengan erat. Iyas merasakan ketenangan yang amat sangat. Kerinduan
yang bertahun-tahun ia pendam kini telah terobati. Kedua sudut matanya mengucurkan
airmata.
“Iyas, Iyas harus bisa sembuh ya! Iyas
akan bisa hidup bersama bunda Iyas. Bunda yang selama ini selalu Iyas
rindukan.” Ucap bunda Rahma sambil mencium kening Iyas. Iyas memanndang bunda
Rahma sambil tersenyum.
”Bunda Rahhmaa, terimaa ka..sih atas
semua kebai..kan bunnd..aa sela..maa ini.Iyas ber…janji tak akaan per..nah
meelupakan bunndaa. Bunda Rahhma te..ttap men…nnjadi caha..yaa Iyas. Cahaya
dii..atas cahaya itu a..kan Iyy…as raih dengan dua cahaya yaaang ki..ni
dimili..ki Iyas. Cahayaa bundaa Raahhma daan bundda A..aafifa”. Nafas Iyas
terlihat lemah. Ia tak bisa berbicara
lancar. Iyas berganti menoleh ke arahku.
“Kaak Maaulaa… kakaklah yaa.nng
se..lama ini men..dampingiii Iyas. Yang sel..llalu memotiva..si Iyyas. Hhh,
Iyyas takkaan bissa me..hhnemukan ca..haya Iyyas tanpaa kak Mauulaaa. Terima
kasih kaak.” Aku tersenyum dalam tangisku yang masih berderai. Aku menggenggam
jemari Iyas sambil kuanggukkan kepalaku. Iyas berbalik menoleh pada bunda
Afifa.
“Bunn…d..daaa…hhhh….hhhhh…hhhhh” belum
sempat Iyas menyelesaikan perkataannya tiba-tiba tubuh Iyas mengejang. Nafasnya
makin tak karuan. Bulatan hitam di matanya hampir tertutup tergantikan warna
putih pucat. Iyas terlihat sangat kesakitan. Bunda Afifa dan bunda Rahma
menjerit panik. Bunda Afifa menggoyang-goyang tubuh Iyas. Kulihat dilayar
monitor gambar detak jantung Iyas telah lurus menandakan tak ada detaknya.
“Dokter…dokter…Iyas anfal dok….!” Aku
berlari keluar memanggil dokter. Bunda Afifa menggenggam erat tangan kanan
Iyas. Bunda Rahma membisik ke telinga Iyas sambil menggenggam tangan kirinya.
Keduanya tak dapat menahan isak tangisnya melihat keadaan Iyas.
“Buunn….dhhhaaa…..hhhhhh.” tiba-tiba
Iyas tersentak. Seolah telah terlepas dari berton-ton beban yang menindihnya. Ia
seperti mendapatkan kekuatan untuk kembali sadar. Kekuatan seorang bunda mampu
menjadi spirit batin bagi darah dagingnya. Nafasnya semakin lemah. Dadanya
berdetak tak karuan. Sentakan dadanya membuat ia tak bisa menghirup nafas
banyak. Bibirnya semakin pucat. Ia masih berusaha untuk berkata.
“Buunn…daaa…. Iiiyyyaas mennc…ciuum
w..angi ssurgaa. Ssurgaa yyang a..dda dii..telaapaak ka..ki bbunndaa.
Bbboleehkah Iyyaass meenciium teelapak kkaaki bunnddaa. IIyaas inngiiin
mmennja…diii pppeengg..huuni ssurgaa ddeng..aan menggengg…aam riidloo bunddaa.”
Bunda Afifa semakin tergugu. Tangisnya semakin deras membasahi pipinya. Dadanya
bergetar dengan ucapan Iyas. Ia mengangguk mengiyakan permintaan Iyas. Dengan
dibantu bunda Rahma Iyas menunduk mencium telapak kaki bunda Afifa. Tangis bunda
Afifa dan bunda Rahma semakin berderai. Bunda Afifa memeluk kepala Iyas dan
membenamkan dalam dadanya. Airmatanya berjatuhan diwajah Iyas.
“Bunn…daaa…” Iyas menoleh lemah ke arah
bunda Afifa dan bunda Rahma bergantian.
“Keerriindu..an Iyyass tel..aah teroobati.
Iyyaass aakkan mmmenjemputt caahaaya di aataas cahhaya ittuu. Iyyaass jaanjji
aakaan mennjadi caahhayya bbunnda kelaak. Rridlloi Iyyass bunndaa. Maafkaan
see…ggalaa keesaalaahn Iyyass…” suara Iyas semakin melemah. Matanya separuh
tertutup. Nadinya hampir tak terasa denyutnya. Bunda Afifa menutupi wajahnya
dengan telapak tangannya. Tangisnya semakin memuncak. Berbagai rasa bercampur
aduk di dalam hatinya. Ia menyesal telah menelantarkan malaikat yang dikirim
tuhan padanya yang seharusnya ia jaga.
“Iyas.. I…yas harus bertahan, nak!
Bunda janji akan terus berada di sisi Iyas…Iyas harus bisa sembuh… maafkan
kesalahan bunda selama ini!” bunda Afifa meraung-raung di sisi Iyas. Iyas
tersenyum. Nafasnya semakin melemah. Iyas semakin kesulitan mencari oksigen.
Dadanya naik turun tak karuan.
“Iyas…Iyasss….” Bunda Rahma dan bunda
Afifa menjerit. Mulut Iyas megap-megap
“Assyyy…haduu…alllaaa ilaaaha
….illaa…allaaahhh……” Iyas menguatkan untuk mencari udara. Kepalanya ia
dongakkan berharap ada udara yang masuk dalam paru-parunya yang semakin lemah.
Nafasnya semakin putus-putus.
“Waa…asy….hadu….annaaaa……hhhhhh……..muhammmadaaan…..raa….suuu…luuullaa….aaaahhhh…hhhhh”
suaranya makin lirih. Genggaman Iyas ditangan bunda Afifa mengendur bersamaan
dengan menutupnya kedua mata Iyas. Bunda Afifa menjerit histeris. Aku telah
sampai di sisi ranjang Iyas bersama dokter ketika kulihat bunda Rahma jatuh
pingsan.
“Iiiiyaaaaaasssss…..” jerit bunda
Afifa. Derai tangisnya begitu pilu. Bunda Afifa memeluk erat jasad Iyas.
“Tuhan, kini aku mengerti, kasih ibu
memang sangat tulus. Kasih sayang seorang anak juga sangat besar. Keduanya
memang tak dapat dipisahkan karena telah terikat oleh darah yang meyatukan
batin keduanya. Sampai kapanpun seorang anak tak akan mampu untuk terpisah
dengan orang tuanya. Bersyukurlah mereka yang memiliki ayah ibu. Sedangkan aku?
Tak berayah dan tak beribu.” Lirihku. Aku menatap nanar jasad Iyas. Tetes
airmataku kembali jatuh entah untuk keberapa kalinya. Seperti rinduku yang
berkali-kali jatuh mengalir tak ada bekasnya.
The End
I MISS U BUNDA
Semoga tuhan berkenan mempertemukan kita kembali,
berkumpul dalam kasih sayang yang selalu bunda curahkan
untuk ananda
Mukalla, 1 Maret 2012
(23.43)
Oleh : Adly Al-Fadlly, Mahasiswa Universitas Al-Ahgaff,
Yaman
0 Komentar