`Ufuk mulai tercelup darah, dihiasi cahaya kuning keemasan seakan menyempurnakan pesona langit sore kala itu. Beberapa mahasiswa terlihat masih berkeliaran di kampus mereka. Al-Ihsan. Ya, itulah nama Universitas itu. Salah satu Universitas tertua di Mesir yang sistem pendidikannya telah diacungi jempol oleh seluruh Universitas di belahan dunia, hingga tak heran jika dapat menghasilkan jebolan-jebolan yang telah banyak meraih kesuksesan.
“Ukhti
Aini…!” teriak seorang pemuda kepada gadis berjilbab yang ada di depannya.
Sontak gadis yang dipanggil itu menoleh
“Ng..ng…..”
jawab gadis itu dengan isyarat. Gadis itu ternyata tuna wicara. Sejenak
kemudian ia mengambil secarik kertas dari dalam tasnya lalu menuliskan sesuatu.
Gerakan jari lentiknya begitu cepat menari di atas kertas putih yang
dipegangnya. Sesaat setelah menulis, segera ia balikkan kertas itu dihadapan
pemuda tadi.
“Ada yang bisa sanya
Bantu?” isi kertas itu. Sang pemuda sedikit kikuk mau menjawab.
“Ya,
sedikit pemberitahuan mengejutkan. Karya anda telah termuat di media massa! Nih, silahkan anda
baca!” kata pemuda itu seraya menyodorkan sebuah majalah Al-Fikrah. Aini
menerima majalah itu dengan mata berbinar. Ia mulai menyisir baris demi baris
halaman pertama majalah itu dan menemukan sederet kata bercetak tebal
dengan judul ‘Al-Adhimu fil-Islam’ (keagungan dalam Islam), di bawah karya itu
tertampang jelas sebuah nama “Syarifah Nur Aini”. Sesaat lamanya ia serius
dengan majalah yang ada di genggamannya. Sebentar kemudian ia di kejutkan
dengan suara pemuda tadi.
“Kalau
mau, Ukhti Aini boleh ambil majalah itu”. Ucap si pemuda. Aini seketika langsung
menolak dengan sopan. Ia merasa tidak berhak memiliki sesuatu yang menjadi hak
milik orang lain. Bisa jadi pemuda yang ada di hadapannya belum sempat membaca
seluruh isi majalah yang dipegangnya. Aini mengulangi penolakannya dengan
isyarat tangan. Tapi, si pemuda tetap memaksa untuk tetap memberikannya.
“Sudahlah
ukhti Aini, bawa saja! mungkin bisa dijadikan referensi untuk menyebarkan
dakwah lagi” seru pemuda itu sambil tersenyum. Mau tak mau Aini menerimanya.
Cepat-cepat ia mengeluarkan kertas kembali, lalu menulis di atasnya. Entah apa.
Tapi sejurus kemudian ia membalikkan lagi kertas itu di hadapan si pemuda
“Terima kasih, semoga Allah membalas kebaikan Akhi.” Sang pemuda mengucapkan
Amin sambil tersenyum.
“Amiinn”
balas sang pemuda sambil tersenyum.
“Sudah
hampir Maghrib, saya pulang dulu. Mari ukhti Aini!” ucap pemuda itu menutup
pembicaraan. Aini menyilakan dengan isyarat tangan sambil tersenyum. Aini
pulang dengan kebahagiaan yang memuncak. Tak sabar ia ingin segera memberitahu
Umminya. Meski ia tak memiliki mulut untuk berbicara, tapi ia masih mempunyai
tangan untuk berkarya. Itulah prinsip yang mendarah daging pada dirinya.
***
Syarifah
Nur Aini. Yah, nama yang sangat indah meski tak seindah hidupnya. Paras cantik,
semangat juang yang tinggi meskipun ia terlahir dengan kekurangan. Ia tuna
wicara. Ia dilahirkan ditengah keluarga
yang berekonomi rendah. Abinya telah lama meninggal. Kini ia tinggal di daerah
kumuh di kawasan Sayyeda Zaenab dengan Ummi dan dua adiknya. Meskipun ia bisu,
itu tak pernah meyurutkan semangatnya untuk mengais ilmu. Berkat kecerdasan
yang dikaruniakan oleh Allah itulah ia mampu meraih beasiswa hingga sekarang ia
mampu mengenyam ilmu di Universitas terfavorit negeri kinanah, Mesir.
Saat ini ia telah duduk di bangku semester akhir. Tinggal menunggu ujian, maka
gelar licencenya akan turun. Meskipun begitu ia tetap merasa bersyukur atas
karunia yang diberikan Allah padanya. Tiap pagi ia harus pergi menjual dagangan
sayuran umminya. Tak jarang ia dicemooh oleh para pembeli. Orang bisu, cacat.
Aah, begitu banyak hingga ia lupa kata-kata apa yang pernah terlontar untuk
dirinya. Bukanlah sifat Aini jika ia menganggap
kata-kata itu ada. Ia tak pernah
menghiraukan ucapan-ucapan itu. Dalam hati ia hanya bisa berdoa agar hatinya
dikuatkan oleh Allah. Baginya hidup harus ada usaha. Selagi usaha itu halal,
kenapa harus mundur? Setelah siang ia kembali pulang untuk kuliah. Begitulah
kegiatanya sehari-hari. Ia tak merasa malu atau risih meskipun di universitas
tak jarang ejekan itu kembali muncul. Di samping bekerja, Aini tak lupa tugasnya
sebagai makhluk Allah untuk mengingatkan sesama. Dengan tangannya ia berusaha untuk
berdakwah menyebarkan pengetahuan yang didapatnya ke sekelilingnya. Meskipun ia tak punya mulut
untuk berbicara tapi ia punya tangan untuk berkarya. Cacat bukanlah penghalang
dirinya untuk meraih kesuksesan.
***
“Woy,
bintal khodrowat (anak sayuran), tergesa-gesa kemana?” sapa seorang gadis
berjilbab. Pandangannya begitu sinis. Yang disapa cuma menoleh dan melemparkan
senyum kepada gadis berjilbab sambil terus melanjutkan jalannya menyusuri
koridor-koridor universitas. Langkahnya terlihat begitu tenang, baginya buat apa
marah, buat apa jengkel, toh, kenyataannya memang begitu, ia memang anak
penjual sayuran. Ia tidak sadar sedari tadi sepasang mata mengawasinya dari depan papan pengumuman. Telah lama ia
mengerti tentang pribadi Aini. Aini yang katanya cantik tapi bisu, penjual
sayur di pasar Sayeda Zaenab, gadis yang cerdas dan sering berkarya. Yah, seperti
itulah yang sering ia dengar dan baru kali ini ia bisa menatap wajahnya. Wajah
ayu dibalut jilbab cantik berwarna biru serta ketegaran hatinya itu menyisipkan
rasa kagum dihatinya.
***
Aini
terus melangkah menuju kantor administrasi universitas. Tak disadarinya mata
yang sedari tadi mengawasinya masih terus membuntutinya. Sesampainya di ruang
administrasi, Aini langsung disambut wajah teduh guru yang bertugas. Segera
saja, ia mengeluarkan kertas lalu menulis di atasnya “Nama saya Syarifah Nur
Aini, jumlah pembayaran ujiannya berapa ustadzah?” kertas itu disodorkan kepada
guru bagian administrasi yang duduk di depan meja kerjanya. Guru tersebut
melihat sebentar lalu menjawab,
“Untuk
mahasiswa tingkat akhir bayarnya 700 dollar sekaligus biaya wisuda. Sengaja
kami crushkan dollar agar proses dengan sponsor lebih lancar” Aini terhenyak. Bagaimana
mungkin ia mendapatkan sebegitu banyak, padahal kebutuhan ekonominya pun bisa
dikatakan sedang parah-parahnya, ditambah lagi dagangan sayurannya yang kian
hari makin jarang pembeli.
“
Mau bayar kapan ukhti? ” suara guru administrasi mengagetkan Aini. Aini
geragapan, bingung apa yang harus ia lakukan. Cepat-cepat ia ambil kertas itu
lagi lalu menulis di atasnya “boleh dicicil ustadzah?”
“Boleh
tapi sesuai persyaratan harus lunas satu hari sebelum ujian, jadi kurang enam
hari lagi” jawab guru administrasi. Kembali Aini terhenyak, ia bingung, ia
segera memutuskan untuk berusaha terlebih dahulu. “Saya usahakan dulu, terimakasih”
tulis Aini pada akhirnya. senyumnya hambar. ia lalu berbalik menuju ruangnya
dengan membawa sejuta kebingungan.
Gyratan
wajah kesedihan di wajah Aini ditangkap oleh mata yang sedari tadi membuntutinya,
sepertinya ia mengetahui penyebebnya. Bergegas ia masuk ke ruang tempat Aini
keluar tadi. Di sana
ia menjumpai guru administrasi. Langsung saja ia bertanya
“Ada apa dengan gadis tadi,
ustadzah?”
“Oh
gadis tadi, ia kelihatannya bingung
dengan administrasi ujian akhir sekaligus biaya wisuda.” jawab guru itu. Pemuda
itu tersadar, Aini hanya seorang penjual sayur. Uang 700 dollar terlalu besar
baginya “kasihan kalau sampai wisudanya di tunda” batin pemuda tersebut, segera
ia merogoh sakunya. Di dalam dompetnya ia keluarkan kartu ATM miliknya.
”Ustadzah,
ini uang pembayaran biaya gadis tadi. Kasihan kalau gadis secerdas itu tidak
wisuda. Negara membutuhkan dirinya untuk dakwah. Tolong samarkan nama saya jika
ia bertanya”
“Insya
Allah”
***
Enam
hari berlalu. Saat itulah Aini dilanda kebingungan, uang yang telah lama ia
kumpulkan terpaksa harus ia gunakan untuk biaya perobatan umminya yang
dua hari lalu penyakit jantungnya kambuh. Ia kembali bingung. Harus dengan apa
ia membayar ujian?! seharusnya dalam waktu dekat ini ia bisa meraih gelar
Licencenya, tapi bagaimana ia bisa melewati rintangan ini? Mungkin, salah satu
jalan keluarnya adalah menunggu satu tahun lagi untuk meraih gelar tersebut.
Aini
menghela nafas panjang, butiran kristal bening mulai membasahi pipinya yang halus. Ia kembali mendesah.
“Gelar
bukanlah suatu yang sangat berharga kak, gelar bukanlah segalanya, tapi ilmu
yang selama ini kita dapatkanlah yang harus kita jaga dan amalkan. Mala tahu
kebingungan yang kini melanda kakak”. Mala, adik perempuannya tiba-tiba muncul
dibelakangnya. Aini menoleh. Hatinya tersentak. Mala benar tak seharusnya ia
merasa sesedih ini. Ia merangkul erat adiknya. Hatinya telah mantap, ia akan mengambil
langkah dan harus mengambil keputusan. Segera Aini mengambil tasnya dan
langsung berangkat ke kampus, ia sempatkan dulu pamit pada umminya yang
tergeletak lemas tak berdaya di ranjang.
“Iya,
Nak! hati-hati di jalan!”. Kata umminya
serak. Sepeninggal Aini, tetesan hangat membasahi pipi umminya. Ia mengerti
dilema yang kini sedang menimpa putri tertuanya. Sebab dirinyalah, Aini tak
bisa menyempurnakan kuliahnya.
“Mudahkanlah
jalan bagi anakku, Robbi!” lirih ummi Aini disela-sela tangisnya
***
Aini
menyusuri koridor universitas dengan langkah cepat. Ia harus segera menjelaskan.
Kalau tidak, namanya bisa dicoret tanpa sebab. Kini ia berdiri di sebuah ruangan
yang beginya begitu berat, Aini menata hatinya terlebih dahulu. setelah dirasa
cukup, dengan langkah yang mantap, ia memasuki ruangan itu, Aini segera membuka
tas kecilnya dan mencari kertasnya. Setelah menemukan kertas itu. Aini langsung
menulis diatasnya “Ustadzah saya bermaksud menunda ujian licence tahun depan
karena masih belum punya biaya. Mohon dimengerti!” kertas itu disodorkan pada
guru penjaga ruang administrasi. Penjaga guru itu membaca sebentar lalu
tersenyum simpul.
“Aini,”
sang guru mulai bicara
“Kamu
bisa mengikuti ujian Licence kali ini” terang guru itu. Aini terbelalak kaget.
Ia tak percaya, ia merasa belum membayar. Cepat-cepat Aini menulis dan segera
ia balikkan pada guru itu “Maksud ustadzah. Saya belum membayar ujian”
“Kamu
sudah membayar, Aini. Sudah tercatat disini. Biaya ujian kamu sudah ditanggung seseorang” jawab guru itu. Aini penasaran, ia
kemudian menulis “Siapa yang membayarnya ustadzah?”
“Dia
tidak mau menyebutkan namanya. Maaf, saya hanya menjalankan amanah. “ kata guru
itu. Aini menulis lagi “Boleh saya minta kwitansinya?” guru itu melihat
sebentar lalu menjawab. “Maaf kwitansinya telah dimintanya” Aini mendesah
pelan, ia kecewa karena ia tak bisa mengetahui orang yang telah berbaik hati
padanya. Baginya semua itu adalah pinjaman dan harus dikembalikan.
“Aini,”Aini
tergeragap. Suara itu telah mengagetkannya.
“Ust…ust…”jawabnya
dengan isyarat disertai anggukan kepala seakan menjawab “Ya ada apa?”sepertinya
guru bagian administrasi menyadari kekecewaannya.
“Yang
paling penting, sekarang kamu bisa mengikuti ujian dan mengejar gelar Licencemu.
Ingat Aini, kamu bisa mengalahkan bisumu untuk berkarya dan berprestasi, maka
hal ini pasti lebih kecil untuk kau lewati.” ucap guru tersebut meyakinkan
Aini. Seketika itu juga Aini langsung bersujud syukur. Matanya menderas.
“Allah,
Sungguh besar karuniamu, Ya Robb, aku patut mengucap syukur padamu. Hadza min
fadlli robbi”
Beberapa
saat kemudian Aini telah kembali ke posisi semula. Aini menggores isi tasnya
lagi, ia mengambil selembar kertas dan menulis di atasnya “Saya kembali dulu
ustadzah! Syukron ala al-jami'. jazakillah” guru itu tersenyum sambil
menyilahkannya dengan isyarat tangan.
***
Aini
keluar dari ruangan dengan hati berbunga-bunga. Berkali-kali hatinya mengucap
syukur pada Allah SWT. Karena Dialah dzat yang maha pengasih bagi semua
hamba-hambanya yang sedang dalam kesulitan dan ia yakin akan hal itu,
“Inna
ma’al ‘usri yusroo” Allah akan selalu
menolong hambaNya yang terjepit dalam kesusahan.
***
Wisuda
kali ini sungguh membahagiakan. Aini, memperoleh Cumma Cum Claude atau perdikat
mumtaz, sebuah predikat tertinggi mengungguli semua teman seangkatannya yang
hanya berpredikat jayyid jiddan. Tapi saying, pada moment terindah yang kini ia
genggam sang ummi tak bisa menemaninya. Sakit yang diderita umminya bertambah
parah, sedang Aini tak punya uang untuk mengobati umminya. Dagangan
sayurannyapun sepi pelanggan, belum lagi ia masih punya tanggungan hutang pada
seseorang yang melunasi pembayaran ujiannya. Hatinya begitu sedih. Ia kalut, ia
tak ingin umminya menderita. Sebenarnya ia ingin meminjam uang pada tetangganya,
tapi ia ingat akan perlakuan kasar tetangganya disertai dengan kata-kata yang merendahkan
harga dirinya. Sulit menjadi orang tak berada ditambah keadaan dirinya yang
kurang dari sempurna. Sering ia harus menangis sendirian dan menelan pahit
makian sekelilingnya tentang kekurangan yang ia miliki. Memang ia bisu. Dan itu
bisa berpengaruh besar pada masa depannya. Tapi ia yakin bisa mengatasi itu.
Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kini ia termangu di bangku depan
bertemankan thropy dan sertifikat serta toga yang menutupinya.
“Aini,”
Aini menoleh kaget.
”Eh…”
ia menoleh pada orang yang memanggilnya. Ia lihat Nisa’ dan Syifa’ dua orang
teman sekelasnya.
“Kok
murung? Harusnya kan
bahagia?” Aini hanya menggelengkan kepalanya sambil sesekali mencoba tersenyum
tapi sungguh berat merubah bibirnya tuk menyunggingkan sebuah senyuman.
“Ada apa? Ada masalah?” Tanya Nisa. Yang kemudian duduk
di sebelah kirinya. Aini hanya menggelengkan kepala tapi kedua sudut matanya tak
mampu berbohong. Butiran kristal mulai turun di pipinya, menetes membasahi
kerudung putihnya. Aini segera tanggap dan menyeka air matanya dengan sapu
tangan yang dibawa. Ia tak mungkin bisa membohongi dirinya sendiri.
“Aini,
kalau memang ada masalah, ceritakanlah! mungkin kita berdua bisa membantu ?” Syifa’
memegang pundak Aini.
“Iya
Aini. Mungkin dengan menceritakan kepada kami bebanmu bisa berkurang. Insya
Allah kita akan membantu semampu kita” sahut Nisa. Aini mulai memandangi wajah
kedua temannya bergantian. Ia masih ragu untuk bercerita.
“Aini,
jujur kami salut dan kagum akan perjuangan kamu. Tak sedikitpun cobaan ini
menghapus senyummu. Tapi kali ini ketika tak kami jumpai senyum manismu kami
merasa kekaguman kami sedikit pudar. Kamu nggak akan kalah dengan semua ini,
Aini. Cobaan dan cacat yang kau derita justru membuat kami termotivasi untuk
bisa sepertimu. Selalu semangat. Ceritakanlah jika kau memiliki masalah.” Mata
Aini basah. Pelan-pelan ia menulis duka yang kini menyelimuti hatinya. Tapi di
akhir cerita ia menuliskan “Tolong nggak usah repot-repot membantu aku, aku
takut merepotkan kalian. Bagiku kehadiran kalian sudah sangat membantu
menguatkan hatiku” kertas tersebut lalu disodorkan kepada kedua temannya tadi.
Mereka segera membaca isi cerita Aini. Seusai membaca keduanya memandang Aini.
Mata keduanya berkaca-kaca
“Aini
yang sabar ya!” ucap Syifa’
“Iya
Aini.Kamu nggak boleh merasa merepotkan kita. Sudah menjadi kewajiban kita sebagai sahabat untuk saling memmbantu ” sahut
Nisa’ yang berada di sebelah kirinya.
Keduanya
langsung membuka tas kecilnya. Syifa’ mengambil uang seratus dollar sedang
Nisa’ mengambil uang delapan puluh dollar sisa pembayaran ujian. keduanya
memberikan uang tersebut kepada Aini. Aini beringsut. Dengan cepat ia langsung
menolaknya
“Aini,tegakah
kau mengorbankan sakit yang diderita ibumu hanya dengan rasa malumu pada
kami berdua, kami ini sahabat kamu. Kami saudaramu ” Aini hanya terdiam. Air
matanya kembali membasahi pipinya. dalam hati ia membenarkan ucapan kedua
sahabatnya
“Aini,
kamu sedang membutuhkan uang itu untuk mengobati ibumu, kasihan ibumu ” Aini
langsung merangkul keduanya, tangisnya makin deras.
“Syafaha
allah Aini. Segeralah pulang! Ibumu membutuhkanmu.” Aini mengangguk. Air
matanya terus mengucur deras . Aini melepaskan pelukannya lalu segera menulis
diatas kertas yang sama “Syukron semoga Allah membalas kebaikan kalian.
Allah yubarik fiikuma” Syifa’ dan Nisa’ mengangguk sambil sesekali mengusap air
mata yang menetes membasahi kedua pipi mereka.
Segera
Aini berlari menuju gerbang universitas. ia ingin sampai di rumahnya, ia
berencana akan membawa uminya ke rumah sakit. ia begitu bahagia sampai ia
menyeberang tanpa melihat arah jalan. Tiba-tiba
“CIIIIT…….
BRUAK “
***
Di
rumah aini.
“Ummi,
jangan tinggalkan Mala dan Aufal ummi …!” jerit kedua adik Aini.
“Ya
Allah, kenapa engkau tega memisahkan kami! dulu kau pisahkan kami dengan abi, kenapa
sekarang kau ambil satu-satunya orang yang kami cintai. Tak cukupkah
derita kami selama ini. Engkau sungguh jahat. Jahat. Jahat…!” jerit Mala.
Para pelayat menunduk semakin duka. Aufal
terduduk lemas di pojokan, Tangannya memeluk erat kedua lututnya sambil sesunggukan.
Sesekali terdengar isak tangis diiringi jeritan-jeritan. Tak lama kemudian,
Mala pingsan. Tiba-tiba seorang polisi berbadan kekar masuk ke dalam rumah
Aini.
“Selamat siang, apa benar ini
rumahnya saudari Syarifah Nur Aini ?“
“I…iya ! “Jawab tetangga Aini. Aufal
terlihat diam sambil menerka-nerka ada masalah apa lagi. Mala perlahan mulai
sadar.
“Ukhti
Aini.... “Kalimat pak Polisi terdengar menggantung. Ia tak tega memberitahukan
kabar itu. Pak polisi menyadari di rumah itu kini sedang dalam keadaan duka.
Tapi, ia harus bersikap tegas.
“Ukhti Aini .... sekarang di rumah
sakit, ia tertabrak mobil setelah pulang dari Universitas ! “ Ucap pak polisi
sambil menunduk. Seketika itu Mala menceracau hebat. Tak lama, kemudian
pingsan. Aufal langsung berlari ke arah jenazah Umminya dan memeluk erat seakan
tak ingin ditinggalkannya.
“Ummi.... kenapa cobaan ini harus menimpa kita Ummi. Kita orang miskin tapi
mengapa Allah masih menurunkan cobaannya pada kita Ummi.... apa memang benar
Allah itu jahat Ummi ..., Ummi .... Jawab Ummi.... ! lihat ummi! kasihan kak
Aini. Allah sudah menakdirkan dirinya bisu dan kini Allah tambah lagi cobaan
ini. Seakan kita diciptakan hanya sebagai bahan ujian. Apa ini adil ummi. Jawab
ummi..jawab!“ Teriak Aufal sambil terus berlinang air mata.
“ Allah jahat ..... Alllah jahat.... Allah jahat ... ! “ tiba-tiba Mala bangun
dari pingsannya dan langsung berteriak-teriak. Semua orang di dalam rumah Aini
menitikkan air mata tak tega. Semua orang yang pernah merendahkan keluarga Aini
seketika itu tersadar, betapa berat cobaan yang di alami oleh keluarga ini.
Orang-orang yang selalu menghina ketidak mampuan serta ketidak sempurnaan
keluarga kecil ini.
“ Mala,Aufa,. kalian tak boleh mengucapkan kata-kata seperti itu, ingatlah
Allah itu maha Rahman dan Rahiim. Sini, dek! “ Suara lembut Safa, sahabat Aini
terdengar begitu menyentuh. Ia mendekati Mala dan Aufal yang terlihat masih
shock.
“Apakah dengan cara seperti ini Allah dikatakan maha Rahman dan Rahiim ? “
tanya Mala dengan nada penuh kebencian.
“Bukan begitu maksudnya, Mala ! Kita semua mengetahui bahwa Allah itu sang
Khaliq yang menciptakan kita semua, dan Allah berhak untuk mengambil
ciptaan-Nya kapan pun dan dimana pun orang itu berada. orang yang sering kali
mendapatkan cobaan, berarti kita tengah di perhatikan Allah. “ Jawab sahabat
Aini dengan senyum mengembang meski matanya terlihat berkaca-kaca.
“Dengan maksud Allah sedang menguji kesabaran dan ketabahan hambanya, apakah ia
mampu melaluinya ? kakak yakin dibalik ini semua pasti Allah menyiapkan sebuah
kejutan besar buat kita. “ Sambungnya.
Mala dan Aufal terdiam. Matanya kelihatan membengkak akibat kebanyakan
menangis. Serentak mereka berdua berlari ke arah sahabat Aini. Mereka langsung
memeluknya dan menangis sejadi-jadinya.
“Sekarang
kita urus jenazah ummi baru kita ke rumah sakit mengunjungi kakakmu!” keduanya
hanya mengangguk lemah.
***
Mata
Aini mengerjap-ngerjap. Silau. Ia mencoba berinteraksi dengan keadaan
sekitarnya, ruangan serba putih, ranjang beserta selimut putih dan di
sampingnya terdapat obat-obatan. Tak salah lagi, ia kini berada di rumah sakit.
Di sisi ranjangnya tampak mala tidur menelungkup dengan memegangi tangannya. Tiba-tiba
tangan Mala bergerak.
“Ka....kak!”
sapa Mala sambil mengerjap-ngerjap matanya. Matanya masih bengkak.
“Kakak
sudah siuman!” Aini hanya mengangguk lemah. Matanya yang bening mencari-cari
sosok sang ummi, tapi nihil umminya tidak ada di ruang itu. Aini memberi
isyarat kepada mala untuk mengambilkan kertas dan bolpoint. Malapun
mengambilkan kertas dan bolpoint lalu diserahkan pada sang kakak. Aini langsung
menulis “ummi dimana? Bagaimana keadaannya?” mala membaca sesaat.
Butiran-butiran bening mulai mengambang di pelupuk mata mala tapi sanggup ia
tahan.
“Ummi....
ummi... sudah tenang kak...!” Aini tersenyum lega. Iapun menulis lagi “Alhamdulillah
berarti ummi sudah sembuh, sekarang beliau dimana?” kali ini Mala tak sanggup
menahan air matanya. Air matanya ambrol. Butiran-butiran bening itu sangat
deras turun melewati pipinya. Ia tak tega memberi tahu kakaknya perihal
wafatnya sang ummi. Sang kakak tambah bingung. Apa yang sebenarnya terjadi.
Aini langsung menulis, “Ada
apa gerangan ukhti shoghiroh, apa yang
membuatmu menangis, adakah tangisan ini tangisan keharuan atau...” Aini tak
sanggup melanjutkan tulisannya. Ia tak mau berprasangka buruk. Kertas itu lalu
diberikan kepada sang adik.
“Nggak
apa-apa kak! Mala Cuma terharu melihat kakak sudah siuman! Umi sekarang sudah
tenang kok.” ucap Mala berbohong. Ada
rasa perih meneusup di hati Mala saat mengucapkan kata-kata itu. Tapi harus
bagaimana lagi, ia tak ingin kakaknya lebih menderita. Tiba-tiba ia disodori
kertas oleh Aini, “sekarang Ummi dimana?” Mala bingung harus menjawab apa, ia
berpikir sesaat.
“Ummi...
ummi.. ada kok di rumah!” Aini tersenyum lega.
***
Sepuluh
hari telah berlalu. Aini sudah diperbolehkan pulang. Ia dijemput Safa
sahabatnya.
Di
tengah perjalanan Mala berbisik kepada Safa.
“Bagaimana
kalau kak Aini tahu perihal wafatnya ummi, Kak? Mala nggak ingin membuat kak
Aini sedih” Safa tanggap akan kegelisahan Mala. Ia mengangguk pelan seakan
menjawab kesanggupannya untuk menyelesaikan masalah ini. Ia lalu mendekati pak
sopir dan membisikinya. Sang sopir mengangguk-angguk pelan. Lalu iapun
mendekati Aini dan berbicara pelan.
“Aini
yang tabah ya! aku yakin Aini orang yang tegar!” Aini mulai berprasangka
seperti dulu di rumah sakit. Ia langsung menatap Mala. Mala langsung
memalingkan mukanya ke arah luar jendela mobil. Butiran-butiran bening terus
menetes dari dua kelopak mata mala. Aini semakin gelisah, ia menatap aufal.
Aufal langsung menempis dan menutupi mukanya dengan tangannya. Aini kembali
menatap sahabatnya. Safa menunduk. Matanya menitikkan kristal bening hangat.
Tak
lama berselang, terjawablah sudah prasangka Aini ketika mobil yang ditumpanginya
turun di depan padang.
Di depannya terdapat palang kayu bertuliskan “Maqbaroh Sayyeda Zaenab”. Sontak Aini
langsung menangis. ia mencoba menegarkan hatinya dengan terus berkeyakinan
bahwa prasangkanya salah.
Semuanya
turun dan masuk ke pemakaman. Air mata Aini terus menderas turun. Ia berharap
prasangkanya salah. Tapi, kegelisahan itu terjawab sudah kala mereka berhenti tepat di samping sebuah makam yang
bertuliskan “Maryam binti Abdulloh”. Aini langsung terduduk lemas di samping
makam umminya. Tangisnya makin deras sedang tangannya menggenggam tanah
bercampur bunga-bunga yang ada di atas makam umminya. Mala dan Aufalpun tak
dapat menahan tangisnya, tangis keduanya makin kembali mengucur. Mereka
langsung berangkulan bersimbah air mata. Sungguh memilukan. Sahabat Aini hanya
bisa menangis sedih melihat kejadian memilukan yang ada di hadapannya. Matanya
nanar menatap mereka bertiga.
***
Sesampainya
di rumah Aini hanya menangis dan menangis. Terbersit dalam hatinya untuk
berontak terhadap takdir yang menimpanya. Kunjungan para pelayat tak ia
hiraukan. Hatinya masih kacau hingga akhirnya ia kelelahan dan tertidur. Di
dalam tidurnya, tak dinyana ia bermimpi bertemu umminya. Umminya tersenyum
bahagia dengan memakai pakaian putih yang berkilau dan bermahkota, di
belakanganya terdapat suatu pemandangan yang ia sendiri belum pernah
melihatnya. Menakjubkan.
Aini
mengulurkan tangannya pertanda ingin ikut tapi umminya hanya berucap, “ummi
mersetuimu Aini...” dan suara itu semakin mengecil dan menghilang bersamaan
menghilangnya sang ummi ditelan kabut putih tebal.
Aini
terbangun dengan keringat bercucuran. di
tengah kesendiriannya, ia menangis, “Apa maksud perkataan ummi?” hatinya terus bertanya.
Semalaman Aini tak dapat memejamkan matanya.
***
Pagi
harinya Aini merasa lebih baik meski fikirannya masih tergantung dengan
perkataan umminya semalam. Tiba-tiba ia dikejutkan suara Mala
“Kak..
ada guru dari universitas!” Aini mengangguk lalu berjalan ke arah ruang tamu.
Di sana, ia
melihat guru administrasi bersama dua orang laki-laki. Ia sama sekali tak mengenalnya.
Yang satu sebaya dengannya dan satunya kelihatan sudah tua dengan jenggot yang
menghiasi dagunya.
“Gimana
kabarnya Aini? Ibu turut berduka cita atas wafatnya ummimu” guru administrasi membuka
percakapan sambil tersenyum. Aini hanya menjawab dengan anggukan kepala sambil
tersenyum serupa.
“Aini,
disini saya mau menjawab pertanyaanmu kemarin! Orang yang melunasi pembayaran
ujianmu kemarin adalah pemuda ini!” kata guru administrasi sambil menunjuk
pemuda yang ada di sampingnya.
“Pemuda
ini anak seorang syaikh di daerah Aswan sana. Mereka kesini
berniat mengkhitbahmu!” lanjut guru administrasi.
Aini
terbelalak kaget. Rahasia apa yang tengah Allah siapkan untuk dirinya. Bagaimana
ia harus menjawabnya. Disini ia anak yang tertua, ia harus memutuskannya. Ia
melirik Mala dan Aufal, keduanya tersenyum. Sepertinya mereka telah mengetahui
hal ini lebih dulu. Di tengah kegalauannya ia teringat ucapan umminya, tapi ia
tidak begitu yakin.
“Apa
saya kufu dengannya ustadzah. Aku hanya gadis cacat yang tak punya apa-apa. Hal
ini tentu merugikan mereka.” Tulisnya pada guru didepannya. Sang guru tersenyum
dan memebrrikan kertas itu kepada pemuda dan ayahnya.
“Ukhti
Aini, saya berniat mengkhitbah ukhti bukan karena materi. Tapi hanya
semata-mata mencari ridlo Allah. Dengan adanya Ukhti Aini saya berharap bisa
bersinergi dalam berdakwah menyebarkan ilmu yang kita punya. Aku salut dengan
kegigihan ukhti. Meskipun dalam keadaan seperti ini Ukhti masih mampu berkarya
demi jalan dakwah. Seakan menjadi pelecut semangat manusia yang sempurna karena
banyak orang sempurna yang tak bisa menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi
sesama. Insyaallah jika ukhti mantap. Dengan mengucap bismillah saya siap
melangsungkan niat suci ini.”
Mata
Aini berkaca-kaca. Ia segera mengambil kertas dan menulis sesuatu di atasnya.
"Beri
saya waktu tiga hari untuk mempertimbangkannya. Menikah adalah sesuatu yang suci.
Aku tak ingin terjerat dalam tali syetan dengan terbiri-buru menjawabnya."
Pemuda itu tersenyum menyilahkan.
***
Di
dalam istikhorohnya, kembali ia mendengar suara umminya, “ummi merestuimu
Aini... ummi merestuimu Aini...” ucapan tersebut terdengar berkali-kali.
Ia meminta pendapat Mala, Aufal dan Safa. Mereka menyetujui keputusan Aini
untuk menerima lamaran itu.
***
Pesta
it sungguh meriah. Aini duduk di pelaminan bersama Ridwan suaminya. ia terlihat
begitu bahagia meski di hatinya masih menyimpan duka. Dalam hati ia berkata,”ya
Allah, terima kasih atas segala karuniamu. wujud keajaiban cintamu begitu
agung. Tak seorangpun yang mengetahui rencana yang telah engkau gariskan
terhadap hamba-hambamu! Kekurangan ini tak akan menyurutkan semangatku untuk
berdakwah demi penuhi risalah-Mu”./end
Created
by : Adly Al-Fadlly (kutulis saat usiaku genap menginjak 15 tahun)
Alhamdulillah, "Keajaiban
Cinta" mendapatan barokah dari Allah Swt.dan mampu meraih beberapa
penghargaan :
-
Juara Favorit lomba cerpen dalam rangka
HUT majalah Al-Fikrah
-
Dipublikasikan di majalah Al-Fikrah
edisi 61
-
Juara 1 lomba cerpen versi blog FLP
Hadhramaut
-
Diterbitkan dalam buku antologi
kumpulan cerpen "Opera Langit" di Indonesia
-
Dibedah oleh bunda Pipiet Senja di
bilik sastra, radio streaming internasional RRI Jakarta
0 Komentar