Menceraikan Angin dari Awan



By: Mohamad Abdurro'uf*

Diam-diam, sejak masih kecil dulu telah kuhukumi, setiap ada layangan putus dari pantai Gaza dan angin berhembus ke timur, layangan akan jatuh tidak jauh dari Gaza Square. Untuk memperkirakan titik jatuh layangan dengan pasti, aku harus jadi juru hitung. Arah angin, kecepatan hembus, tinggi layangan dan yang paling penting, ketajaman insting. Bahkan kalau perlu, perhatikan kecepatan rotasi bumi!

Di Gaza, zamanku, setiap sore musim panas. Anak penduduk kota pergi beramai-ramai ke pantai. Walaupun masih panas, pantai sore musim panas tetaplah tempat terbaik untuk bertanding layangan. Tiupan anginnya pas. Bahkan anak amatiran akan bisa menerbangkan layangan hanya dengan sekali coba. Namun aku kurang begitu suka bermain layangan, kurang gerak. Hanya mendongakkan kepala ke atas. Dan bahkan selalu membuat leherku kebas. Permainanku adalah mengejar layangan.

Sudah ada belasan layangan yang mengangkasa dari berbagai ukuran dan warna. Bahkan burung punai pun bingung mau terbang ke mana. Harus hati-hati. Kalau-kalau salah belok dan menabrak layangan yang lebih besar dari badannya. Layangan itu saling beradu tangkas. Mereka meliuk-liuk bak pilot angkatan udara Israel. Saling membenturkan benang dan menyerang. Pemandangan yang seru. Seperti drama kebebasan di Gaza Square pertengahan musim dingin.

Sementara itu, aku masih duduk di ujung dermaga bersama teman-temanku yang kekurangan modal membeli layangan, sambil menunggu layangan yang kalah dan putus. Kami duduk saling berpeluk pundak. Kaki-kaki kecil ini, dengan gemas menyepak-nyepak
air. Dan di atas sana, ratusan burung punai terbang di langit. Kami masih saja suka berdebat menentukan siapakah sang punai paling hebat seperti pesawat Israel. Tangan kami saling tunjuk jagoan masing-masing. Dan sang raja punai, yang terbang paling depan, pamer kedigdayaan. Dia menukik tajam ke laut. Serentak, kompi punai di belakangnya terjun menukik mengikuti. Dialah raja diraja di angkasa raya.

Setelah menunggu, satu layangan gugur dan putus. Permainan dimulai. Begini cara bermainnya: layangan putus dikejar beramai-ramai. Siapa yang paling cepat mengangkap layangan atau benangnya, dialah sang juara. Sederhana. Tapi bagiku, ini bukan sekedar mengejar layangan. Anak-anak mulai berlari. “Ayo kejar!”

Aku harus jadi yang tercepat memerkirakan letak jatuhnya. Gaza Square! Ya. Tapi harus lebih detail. Sekarang angin tidak terlalu kencang. Tapi layangannya sangat tinggi. Berarti benang yang digunakan sangat panjang. Layangan akan jatuh di sebelah timur Gaza Square. Aku harus memanfaatkan panjang benang. Aku bisa memotong jarak dengan menaiki bangunan yang lebih tinggi, lalu menangkap benangnya. Itu dia. Masjid raya! Aku akan menaiki atapnya. Mumpung takmir masjid belum datang.

Kulihat dari atas masjid, anak-anak beramai-ramai mengejar layangan. Itu kesalahan mereka: beramai-ramai. Kemungkinan mandapatkan layangan akan sulit kalau begitu. Jika cerdas, mereka akan menggunakan akal. Walaupun kurang ajar dengan menaiki masjid. Layangan semakin rendah. Benang panjangnya begitu dekat denganku. Dengan mudah, bingo, aku tangkap benangnya. Lalu bersorak kegirangan di atap masjid. Mereka melihatku dari bawah. Dan salah satunya adalah: takmir masjid!

***

Zaman bertukar. Aku telah besar. Dan semua itu berubah semenjak bom Israel menjatuhi tanah kami. Bangunan kota runtuh bercampur tanah. Rumah-rumah kami kocar-kacir. Pantai kotor. Mayat kami berserakan dengan gagak. Nyaris laut kami berubah merah darah. Perempuan Gaza diculik. Sebagian diperkosa di depan suaminya sendiri. Orang renta dikejar ketakutan luar biasa. Bahkan ketakutan itu membuat tulang kerangka berlari lebih cepat dari dagingnya. Anak-anak meringkus di kamp-kamp penampungan. Kehilangan tempat belajar dan bermain. Dihantui Dark Lord Israel.
Semenjak itu pula, konsepku dalam mengejar layangan berubah menjadi logika untuk menghidari bom pesawat yang setiap waktu jatuh dari angkasa. Burung punai yang dulu selalu aku lihat dengan bangga di pantai sore, sekarang menjadi pesawat penguasa angkasa yang galak. Begini cara bermainnya: pesawat datang, perkirakan daerah sasarnya, hindari bomnya. Kalau salah, kaulah daerah sasarnya! Bom!

Begitulah permainanku sekarang, setiap hari, menyelamatkan warga kota yang masih terjebak di rumahnya, sambil menghindari bom misil. Apalagi tentara infanteri Israel akan segera masuk kota. Gaza sangat menyedihkan. Hidup segan, mati tak mau.

Jika aku masih hidup nanti, aku ingin menyampaikan pesan kepada dunia. Isinya: biarlah Israel menghancurkan kota kami. Tapi mereka tak akan pernah bisa merampas harapan kami. Tidak akan kami tinggalkan tanah ini. Walaupun sejengkal, akan kami jaga walau dengan bertumpuk-tumpuk mayat berjatuhan. Inilah tanah lahir kami. Kalaupun Israel dan dunia bersekutu dengan bumi, langit, laut dan badai untuk merebutnya, kami bersekutu dengan Tuhan untuk mempertahankannya. Karena mereka tidak akan bisa menceraikan kami dari tanah ini. Sebab memisahkan angin dari awan adalah seperti memisahkan Tuhan dari takhtanya!

***

Pesawat itu datang lagi. Kali ini bergerombol. Sang raja diraja memimpin paling depan. Mereka menyebar bermanuver. Tidak bisa ditebak daerah sasarnya. Aku terus berlari menghindar. Namun aku salah. Tidak ada arah angin atau panjang benang kali ini. Sebuah pesawat mencegatku dari depan. Dia meluncurkan misilnya. Mengenai apartemen lalu rubuh menimbun tubuhku dan langsung hancur. Sinar mataku meredup. Lalu menutup. Akan kuadukan semuanya pada Tuhan di surga!

***

_______________
*Biodata Penulis:
Nama : Mohamad Abdurro'uf
Tempat, Tanggal Lahir : Kudus, 9 Mei 1996
Alamat rumah : Pasuruhan Lor, Jati, Kudus
Nomor Handphone : +967 775 294 550
E-mail : mohamad.abdurrouf@gmail.com
Lembaga : Universitas Al-Ahgaff, Tarim, Hadhramaut.

Posting Komentar

0 Komentar